Masa Kini, Selasa 2 April 2014.
Bis Patas Harapan Jaya yang kutumpangi melesat meninggalkan kota Kediri. Pagi itu aku sengaja pulang ke Surabaya jam setengah sembilan, sehingga penumpang bis sudah tidak terlalu padat. Benar juga, dugaanku, aku duduk sendirian di bangku ke tiga sebelah kanan, arah belakang sopir. Bis yang gagah dan sering mendapat julukan alap-alap jalanan ini hanya terisi sepertiga saja, dan kebetulan sang sopir kelihatannya bukan tipe pengebut, sehingga aku dapat dengan nikmat menyandarkan badanku di jok bis.
Ini adalah kepulanganku yang pertama sejak meletusnya gunung Kelud yang menyebabkan rumah ibu bocor disana-sini. Untung waktu itu isteriku dan Irine, adikku ragil bisa meninggalkan pekerjaannya untuk menemani ibu yang tinggal sendirian ditengah haru birunya kota yang dipenuhi abu gunung Kelud. Dari rumah ibu saja, truk Pemkab yang mengambil tumpukan debu itu berhasil mengangkat dua truk besar. Entah, berapa truk yang dibersihkan dari seluruh kota. Ibuku benar-benar membutuhkan dukungan moril setelah turunnya hujan pertama di Senin sore itu. Betapa tidak, rumah ibu yang sebesar itu dari depan hingga belakang atabnya bocor, sehingga nyaris tidak ada bagian dalam rumah yang kering. Untunglah, kehadiran istriku dan adik ragilku selama hampir seminggu menemani ibu membuat kondisi mental ibu menjadi pulih kembali. Tetapi aku sendiri merasa berhutang karena belum bisa menengok kampung halaman setelah kejadian itu.
Kegiatanku sebagai seorang pensiunan swasta yang harus memenuhi kebutuhan keluarga menyebabkan aku sulit meninggalkan kesibukanku sehari-hari. Baru di awal April itulah aku bisa menyisihkan semua agenda kerjaku untuk sowan Ibu. Terlebih dari itu, mimpi-mimpiku beberapa hari terakhir yang senantiasa muncul membuat suasana hatiku menjadi sentimentil. Almarhum eyang putri tidak biasanya muncul dalam mimpiku membentuk bayangan yang sangat jelas. Peristiwa dalam mimpi itu sendiri tidak begitu teringat, tetapi dari dua kali kemunculan dalam mimpi itu membuat aku menjadi kepingin menengok kampung halaman, khususnya nyekar ke makam eyang putriku. Jadi lebih dari sekedar menengok keadaan ibu dan rumah yang telah diperbaiki gentingnya sehingga tidak lagi bocor.
Tujuh belas menit sejak meninggalkan batas kota Kediri, bis patas yang kutumpangi berhenti di pasar Bangsongan, 12 km dari kota kediri untuk menaikkan penumpang jurusan Surabaya. Sesaat kemudian ketika melewati pertigaan ke desa Minggiran bis belum bisa melaju terlalu kencang, apalagi didepan kami sedang berderet truk-truk besar yang sulit di salip. Mataku tidak lepas-lepas memandangi jalan ke desa kelahiranku yang telah kutinggalkan sejak umur 9 tahun. Namun hingga kini berbagai rekaman peristiwa masa kecilku masih tersimpan segar. Betapa bahagianya aku saat itu.
Sejak kecil aku memang lebih dekat dengan eyang kakung dan eyang putri, karena hingga umur 9 tahun aku memang di emong kedua eyangku karena bapak dan ibuku harus bertugas jauh dari kota kelahiranku. Eyang putri merupakan ibu sejatiku sebelum aku benar benar diasuh sendiri oleh ibu kandungku. Aku masih kelas 2 SR ketika akhirnya bapak dan ibu pindah dari kota yang jauh ke kota Kediri dan memboyong kami, eyang kakung, eyang putri dan aku untuk tinggal serumah di Kediri. Alasannya karena pada tahun-tahun itu eyang kakung sudah memasuki masa pensiun dari seorang mantri guru atau kepala sekolah kalau jaman sekarang. Alasan lain ketika itu, ditahun 1957, desa Minggiran di arah utara Kediri sering dilanda banjir besar. Aku masih ingat benar ketika tengah malam terdengar kentongan titir, bunyi ketongan yang dipukul terus menerus sebagai tanda bahaya bahwa banjir besar telah datang. Benar juga, ternyata tangkis kali Serinjing yang terletak tidak jauh dari rumah eyangku jebol tidak kuat menahan luapan air bah sehingga banjir bandang terjadi dalam waktu sangat singkat. Rumah eyang yang sekalipun terbuat setengahnya dari tembok dan lantainya kurang lebih 1 meter dari halaman, porak poranda diterjang air bah. Untungya, karena ketinggian lantai rumah itu membuat kami sekeluarga memiliki waktu untuk bergegas meninggalkan rumah dengan membawa buntalan beberapa pakaian lalu naik getek yang telah disiapkan mbah Suro, pembantu setia keluarga eyangku, sekaligus pamong ayahku dulu.
Menurut eyang kakung banjir bandang yang melanda Minggiran sudah terjadi beberapa kali, dan yang terjadi tahun 1957 itu yang terbesar karena jebolnya tangkis sebelah selatan kali Serinjing yang merupakan anak kali Brantas. Itulah yang menyebabkan akhirnya dua tahun kemudian eyang setuju ketika bapak mengusulkan agar rumah dan tanah eyang di Minggiran dijual, dan eyang tinggal bersama bapak di Kediri. Walaupun umurku waktu itu baru 9 tahun, namun saat harus pindah meninggalkan Minggiran rasanya berat sekali. Jarak antara rumah baru di Kediri dan rumah eyang di Minggiran hanya 12 km, tapi serasa berat sekali. Bukan karena kepindahan itu, melainkan rumah eyang akan di robohkan dan dijadikan tegalan oleh si pembeli yang tidak lain adalah mbah lurah dongkol, yaitu istilah di desa Minggiran untuk menyebut mantan lurah. Satu-satunya bangunan yang masih dibiarkan berdiri adalah rumah Mbah Suro yang telah dihibahkan oleh eyang kepada pembantu setianya ini sebelum seluruh tanah dan rumah utama dijual.
Sampai SMA aku masih sering ke Minggiran, kerumah Mbah Suro yang aku panggil kakek dan ninek untuk sekedar bernostalgia mengenang masa kecilku ketika tinggal dirumah besar dan damai, dikelilingi tegalan yang dipenuhi pohon buah-buahan. Dibelakang kanan halaman rumah ada siwakan, istilah kami menyebut blumbang alias kolam ikan seluas kurang lebih 200 meter persegi. Tidak jauh dari situ ada teras atau emperan tempat kami duduk-duduk sambil minum teh di sore hari. Eyang putriku suka mendongeng apa saja. Tetapi yang paling melekat di ingatanku adalah satu dongeng yang diulang-ulang dan bersambung. Aku masih terbayang saat entah keberapa kalinya eyang menceritakan tentang seorang gadis desa yang karena kegigihannya akhirnya menjadi seorang ponggawa kraton yang sangat pandai dan sakti mandraguna. Waktu itu kami duduk di emper belakang rumah yang menghadap ke kolam ikan. Eyang duduk dikursi kesayangannya sambil menyulam taplak meja. Disitulah mulanya, aku mengenal nama Sumilah. Tokoh wanita yang diceritakan eyang putri.
Cerita eyang yang dimaksudkan untuk menanamkan pendidikan budi pekerti serta perjuangan gigih yang menyebabkan seseorang mampu meraih cita-citanya. Bahkan apa yang berhasil dicapai jauh lebih tinggi dari yang diinginkan semula. Dongeng itu dikisahkan bersambung hingga aku kelas 2 SMP. Kurang lebih 6 tahun lamanya. Eyang putriku sangat pandai merangkai cerita, sehingga apa yang diceritakan itu kadang sangat detil dalam membawakan suasana, sehingga seolah-olah eyang ikut terlibat dalam cerita itu. Dalam kurun enam tahun itu memang eyang tidak mendongengkan secara terus menerus setiap malam, melainkan terputus-putus tergantung situasinya. Anehnya, diantara cerita-cerita lain yang beliau dongengkan, ujung-ujungnya kembali nyambung ke cerita yang itu-itu juga.
Salah satu kejadian yang melekat dalam ingatanku, ketika kami sudah tinggal di rumah Kediri, saat itu kami sedang mendengar siaran RRI Yogyakarta yang menyiarkan Ketoprak Mataram setiap malem Selasa. Lakon yang disiarkan waktu itu menceritakan tentang bagian runtuhnya kerajaan Majapahit, dimana ibu kota kerajaan dipindahkan dari Majapahit ke Kediri. Keesokan harinya eyang menyambung dongengnya yang terputus beberapa bulan lalu, dan menghubungkan dengan cerita dalam ketoprak semalam. Ilustrasi yang terbawa dari kisah yang dilakonkan Ketoprak Mataram dengan dongeng eyang putri sungguh pas sekali sehingga mampu membangun imajinasi tentang tokoh yang di dongengkan eyang.
Pada suatu kesempatan, eyang putri sempat mengajakku ke lokasi masa kecil dimana tokoh yang didongengkan eyang itu terjadi. Bukan secara khusus memang, hanya karena desa itu letaknya dilewati ketika kami dalam perjalanan nyekar ke makam eyang buyut di salah satu desa di tlatah kabupaten Nganjuk. Tetapi setelah aku dewasa, ternyata aku mendapati nama-nama desa atau dukuh yang diceritakan eyangku sudah tidak cocok lagi dengan nama-nama dimasa kini. Menurut bapak, bisa saja terjadi, karena dongeng eyangku itu terjadi berabad-abad yang lalu, sehingga sangat besar kemungkinan nama-nama desa itu telah berubah. Terlebih ketika masa penjajahan, pejabat Belanda menghadiahkan suatu wilayah kepada sorang pejabat yang dianggap berjasa dan kemudian pejabat itu mengubah pusat pemerintahan dan kaitannya bisa menghapus dan mengangkat nama dukuh atau nama desa baru. Entahlah. Yang jelas dongeng eyang putri ini diperolehnya turun-temurun dari eyang buyut, beliau begitu yakin dongeng itu benar-benar pernah terjadi.
Menjelang akhir tahun 60an, ketika eyang putri menunjukkan lokasi desa Rejoso, nampak matanya berbinar-binar, seolah beliau sedang menceritakan masa kecilnya sendiri. Beliau bahkan sempat menunjukkan beberapa situs seperti yang terceritakan dalam dongeng. Menunjukkan jalanan yang dilewati cikar para pedagang antar desa yang membawa dagangan, seolah-olah dongeng itu terjadi baru puluhan tahun yang lalu saja.
***
(Bersambung ke Part 2)
*Cikar = pedati
r���z���]^4F�
KAMU SEDANG MEMBACA
Novel Sejarah: Nyai Mojopahit
Historical FictionPrakata Ini adalah sebuah tulisan berdasarkan cerita yang dituturkan almarhum eyang putri, sebagai salah seorang keturunan dari pelaku dalam bagian cerita ini. Sebagai sebuah runutan dongeng yang berpegang dan terhubung dengan peristiwa sejarah, tid...