"Bisa kita bicara sebentar?" Rino, cowok yang sedang berdiri di hadapanku, menatapku penuh harap. Mata teduhnya menatapku lembut, membuatku semakin jatuh. Lagi, lagi, dan lagi. Bibirnya menyungingkan senyum yang menenangkan bagiku.
"Bukannya kita udah bicara?" Tanyaku mencoba bercanda. Padahal sejujurnya jantungku sudah berontak ingin melepaskan diri dari rasa sesak ku saat ini.
Lagi, ia tersenyum dan menggeleng pelan. "Lo tau bukan itu maksud gue," ucapnya.
Ia lalu menggenggam tangan kananku dan ditempelkan di dadanya. "Jantung ini, kenapa dia selalu berdebar saat gue dekat lo?" Tanyanya sambil terus menatp manik mataku. Tatapannyaseperti mengunci kata kata ku, membuatku diam berkutik tak mampu membalas pertanyaannya.
Genggamannya juga ucapannya membangkitkan getaran aneh di hatiku. Bergetar lalu meletup letup bagai kembang api hingga membangkitkan sisi terliarku. Suaranya merambat dan mengenai hatiku, menyentuh sisi paling gelap diriku.
Masih menggenggam tangaku, ia mengajakku bangkit dan berjalan ke tepi danau. Kami berdiri bersisian dengan tangan yang saling bertaut. "Liat, deh! Danaunya cantik," ucapnya sambil menunjuk kearah danau yang ditumbuhi berpuluh puluh bungat teratai di permukannya. Beberapa angsa berenang sambil bercanda dengan sesamanya.
"Tapi tetap aja, lebih cantik cewek yang di sebelah gue," lanjutnya. Aku mencibir mendengar gombalan recehannya, tapi tak urung membuatku melambung juga.
Hening cukup lama. Ia sibuk mengagumi keindahan danau sedangkan aku sibuk dengan pikiran dan fantasi liarku.
"Konon, katanya jika kita mengucapkan permohonan di tepi danau ini, permohonan kita akan terkabul," ujarnya. Aku hanya tersenyum membalas ucapannya. Sedikit tidaknya aku pernah mendengar mitos yang satu itu.
"Jadi, apa permohonanmu?" Tanyanya. Ia mengalihkan tatapannya padaku. Ada jeda sebelum aku menjawab pertanyaannya. Ku perhatikan mata birunya yang sedang menunggu jawabanku. Seragamnya ia keluarkan dari celana sedangkan beberapa kancing bagian atasnya bajunya ia biarkan terbuka menampakkan kaos dalamnya. Surai hitamnya sesekali bergoyang karena tertiup angin.
Lagi, jantungku memberontak, segera ku alihkan tatapanku darinya, membuatnya mengerutkan kening. Tatapannya, genggamannya, dan ucapannya membuat ku panas dingin. Aku takut jika berlama lama menatapnya, aku bisa mati berdiri saat ini juga.
Kutarik nafas dalam dalam sambil memejamkan mata, mencoba menghayati setiap permohonan yang akan terlontar dari bibirku.
Kuhembuskan nafas pelan dan berucap pelan, "gue pengen ini semua jadi kenyataan."
"Rain."
Aku membuka mata ketika sebuah suara mengucapkan namaku dan mengguncang guncangkan tubuhku. Aku mengumpat dalam hati begitu melihat ternyata Rara yang melakukannya. Ia memperlihatkan senyumannya yang membuatku ingin muntah saat itu juga.
Sesaat, aku menatapnya tajam namun dengan cepat ku rubah ekspresiku kembali normal sebelum ia menyadarinya. Aku tersenyum terpaksa. "Kenapa, Ra?"
"Kantin, yuk!" ajaknya lalu menarikku bangkit dari bangku ku.
Sepanjang koridor banyak orang yang menyapanya. Dari yang kalanan bourjuis sampai rakyat jelata yang ditanggapi Rara dengan senyum ramah. Lagi, orang orang ini ikut membangkitkan fantasi terliarku.
***
"Aku benci dengan Rara, Rin," aduku pada Rinja, sahabatku satu satunya. Kalau boleh jujur, rasanya benci saja tidak cukup menggambarkan perasaanku pada Rara.