"Xavie?" Seorang laki-laki bersuara di tempatnya dengan nada lirih, efek dari kesadaran yang baru menyerobotnya dari pusaran hitam menenangkan. Manik hazel itu mengerjap beberapa kali, sebelum mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruang pengap tersebut.
"Kau sudah sadar rupanya, Chander," gadis yang dipanggil 'Xavie' mendekat, dalam balutan gaun aneh yang membuat Chander mengernyit, "kau merasa ... sedikit terkejut?"
Dalam lima detik, tawa bengisnya menguar bersama sedikit udara di sana. Senyumnya merekah dengan kejam, hal baru yang Chander temukan dari sosok gadis lembut seperti Xavie. Namun dalam detik berikutnya, Xavie menampakkan lelehan besi di depan wajah Chander, membuat laki-laki tersebut berjengit ngeri sekaligus terkejut.
Apa yang terjadi? Apa yang telah terjadi pada Xavie? Mengapa ia berada di tempat mengerikan seperti itu? Apa yang sebenanya Xavie inginkan?
Berbagai pertanyaan mulai mencuat di benak Chander, berputar tanpa kendali dan membuat empunya bingung bukan main. Xavie-adik kandungnya-berubah menjadi sosok yang tak mampu ia kenal walau untuk sesaat. Xavie-gadis ceria yang selalu membuatnya mengukir senyum-menguarkan aura bengis sekaligus misterius di ruang sempit tersebut.
"Baiklah. Sepertinya kau terlalu penasaran. Mari kita mulai."
Maka tepat setelah Xavie berujar, lelehan besi panas tersebut menetes di tangan Chander, menepis segala kebingungan Chader menjadi derita, namun juga membuka selapis penghalang yang menutupinya dari ingatan masa lalu.
***
"Tidak! Apa yang kau lakukan?!" Gadis itu terjatuh dengan tatapan ngeri, sangat takut akan ketajaman pisau berlumur darah tersebut. Kakinya terus mencoba bergerak menjauh, walau di sana sudah terdapat banyak sekali nganga luka.
Sementara itu, gadis lain yang menjadi lawan bicara malah mengambil paku dari saku seragamnya. Semua kilat dalam manik cokelat itu seolah terenggut. Tatapannya kosong, benar-benar kosong.
Dengan cepat, gadis itu mengayunkan paku besar tersebut tepat ke tengah dahi lawan, menusuknya di sana berulang kali.
"Maaf. Kau tak bisa melakukan ini padaku." Sang korban berlirih dalam kesadarannya yang hanya tinggal setitik, mencoba mengancam, menyadarkan, atau apa pun yang bisa ia lakukan agar ia tak terbunuh oleh si pelaku.
Namun toh nyatanya, usaha gadis itu tak mencuatkan secuil kilat pun pada manik sang pelaku.
Yang dapat ia sadari terakhir kali sebelum darahnya meluap dan raganya mati adalah; sang pelaku memecahkan kaca jendela dengan batu di tangannya, lalu menancapkan semua pecahan kaca tersebut di sekujur tubuhnya. Dan tanpa pikir panjang, sang pelaku menarik mereka kuat-kuat hingga mungkin sang korban tak akan mampu dikenali orang lain kembali.
Mata itu membelalak lebar dalam menyambut ajalnya, menimbulkan satu kilat dalam manik cokelat yang dari tadi memancarkan kehampaan.
"Aku ... aku membunuhnya?!" Gadis itu menatap kedua tangannya yang berlumur darah dengan sinar tak percaya. Rautnya sungguh terkejut, padahal barusan dia membunuh sahabatnya sendiri dengan cara yang kejam.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Sungguh ... jika dilihat dari tampangnya, gadis itu sungguh tak mengerti. Pikirannya terus berkelana, mencari-cari niat membunuh dari benak. Namun seberapa kuat pun dia mencari, gadis itu sungguh tak mengerti mengapa ia membunuh sahabatnya-meski akhir-akhir ini ia tahu bahwa dia telah dikhianati.
Ya, meski sahabatnya tersebut telah membunuh ayahnya atas alasan konyol.
Orang yang barusan ia bunuh tersebut murka pada ayahnya karena beliau tak mau mengakui bahwa dialah yang membunuh sang ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ilusi
Short StoryMampu berperan seberapa dalamkah sebuah rasa sesal saat segalanya telah berada di tepi pusaran dan tak akan mampu mundur dari sana barang seinci pun?