Seperti ada angin yang berbisik lembut, dan mengatakan Robin, pukul anak itu. Tidak, pukul semua anak itu dengan satu pukulan.
Ia tidak berpikir, namun berpikir untuk berpikir bahwa ia tidak harus memukul anak-anak itu. Namun pikiran pertamanya terus mengatakan perintah itu berulang kali.
Sampai tibalah anak perempuan berlari sekuat tenaga untuk lagi-lagi melindungi Robin, bocah malang. Mukanya memerah selama perjalanan heroik itu.
"Apa kalian tidak bosan menindas anak itu heey!!" teriak Maria dari kejauhan.
"Gawat! Pembawa bencana itu sudah datang dengan muka larvanya!" ucap willie anak berawakan jangkung itu.
Belum sampai, kerumunan anak-anak sudah terpecah tak karuan dengan wajah mereka yang menggambarkan tidak, macan kelaparan itu akan segera menghabisiku!
"Dasar anak anak tak berguna! Bisanya hanya menindas saja!" teriak Maria sesampainya di tengah kerumunan yang sudah sepi itu.
Entah mengapa, walaupun anak-anak sok itu sudah pergi dan tak terlihat lagi. Pikiran pertama Robin tetap memerintahkannya untuk memukul.
Maria, yang matanya masih tak henti memperhatikan Willie dari kejauhan, tidak sadar bahwa dibelakangnya, Robin berdiri sambil mengepalkan tangannya dan menatap Maria dengan tatapan kebencian.
Bruk.
Maria jatuh terhuyung, dan mendarat di lapangan berumput hijau itu. Sembari memegang pipinya yang kini memerah akibat pukulan, ia menatap Robin dengan tatapan takut.
Apa yang aku lakukan?
"Apa ini imbalanku setelah berlari sekuat tenanga dan meneriaki orang orang tolol itu!" kini suara Maria berubah menjadi teriakan bergetar karena takut.
Tidak ada jawaban keluar dari mulut lugu milik Robin. Ia hanya menatap tangannya, yang tadi melayangkan tinju pada seorang anak perempuan.
Maria tetap menunggu jawaban anak itu. Namun Robin memunculkan wajah bersalah dan kebingungan, tak lama ia pun lari menjauhi Maria yang masih memegang pipinya itu.
Seumur hidupnya, Maria baru pertamakali menerima tinju. Begitupun Robin, ia pertamakali meninju seseorang.