Balada Si Asap

5 0 0
                                    

" Haha ! Rasakan kalian manusia ! Hisaplah polutan – polutan itu ! " seru Persea Americana.

" Mengapa kau bicara seperti itu? " tanya Acacia Denticulosa.

" Manusia sudah banyak membunuh famili kita, Acacia ! Apa kau tidak senang kalau manusia mendapat akibat yang setimpal ? " ujar Persea Americana.

" Bukan seperti itu maksudku, teman," balas Acacia, "Tidak semua manusia membunuh famili kita, Hevea braziliensis," sambung Acacia.

"Alaaah,, sudahlah ! Walaupun tidak semua manusia yang secara langsung membunuh Hevea, tapi yang lainnya juga ikut menikmati Elais juga ! Apa bedanya ?" tutur Persea geram mengingat ulah manusia pada Hevea, teman mereka.

"Ya sudahlah. Aku tidak ingin berdebat dengan kau saat ini," ucap Acacia dan beralih pada sahabatnya yang lain, "Mengapa kau bersedih ?" tanya Acacia pada Magnifera Indica.

" Kau lihat wajah gadis kecil sahabat kita itu ?" ucap Magnifera, " Ia murung," sambungnya kemudian.

"Iya, aku melihatnya. Lalu mengapa kau ikut murung ?" tanya Acacia lagi.

"Aku rindu bermain dengannya," jawab Magnifera sedih, "Sudah berminggu – minggu gadis kecil sahabat kita hanya melihat dari balik kaca jendela itu," sambungnya.

"Kau benar, Magnifera. Tak terasa kita sudah cukup lama tak disentuhnya saat ia bermain petak-umpet," kenang Acacia.

"Bahkan bakal buahku saat ini tak bisa ia sentuh untuk merawatnya dengan baik," timbal Magnifera, "Aku rindu sekali saat gadis itu menyentuh buah-buahku," sambungnya penuh lara kerinduan.

"Ada apa dengan kalian, hah ?! Gadis itu musuh kita, Sobat ! Manusia itu predator utama bagi kita !" ujar Persea sakit hati.

" Diam kau, Persea ! Aku tidak ingin mendengar sumpah serapahmu !" ujar Acacia keras. Habis kesabarannya karena mendengar kalimat – kalimat Persea.

"Ada apa dengan kau, Acacia ? Kau lebih membela manusia dari pada nasib famili – famili kita ? Sudah berapa banyak Hevea yang mati di Sumatera ? tidak hanya Hevea saja sahabat dan famili kita yang mati terbakar oleh ulah manusia !" bentak Persea naik pitam.

"Ada apa dengan kau, Persea ?" tanya Magnifera, "Kau tidak lihat, saat ini kau berdiri dimana ? ini halaman rumah gadis itu," sambung Magnifera.

"Ya, benar ! Andai aku bisa memilih dan mempunyai kaki, aku lebih memilih untuk hidup liar di hutan daripada harus berdekatan dengan manusia !" balas Persea.

"Silahkan kau minta pada Tuhan untuk mencari lahan hidupmu sendiri. Mungkin Tuhan akan menganggapmu makhluk yang tidak bersyukur," ucap Magnifera tajam.

"Apa maksud perkataanmu, Magnifera?" tanya Persea.

"Kau ingat siapa yang menanam dan merawat hidupmu hingga kau kokoh sampai saat ini?" tanya Magnifera, "Tidak akan bisa kau sangkal, itu atas jasa tangan mungil gadis kecil itu bersama orang tuanya," sambung Magnifera bijak. Persea terdiam.

"Aku tidak mengatakan bahwa peduli pada teman – teman kita itu salah. Tapi bila kita menyalahkan nasib Hevea pada semua manusia termasuk pada gadis kecil yang tidak bersalah itu, aku tidak bisa terima," tutur Magnifera.

"Itu benar. Hevea pun mungkin tidak akan menyalahkan gadis kecil itu juga atas nasibnya," timbal Acacia.

"Gadis itu manusia pertama yang merawat buah pertamamu bukan ?" tanya Magnifera pada Persea yang mulai tertunduk diam.

"Dia juga yang setiap hari memberikan air dan kompos saat kau hampir saja mati," ucap Acacia mengingatkan kembali memori Persea.

"Dimana rasa terima kasihmu ?" tanya Magnifera, "Karena polutan ini, gadis itu tak bisa menghampiri dan bermain dengan kita. Tidakkah kau lihat di raut wajahnya betapa ia rindu berada disekitar kita?" sambung Magnifera.

"Aku saja yang cukup jarang disentuhnya dibandingkan kalian, melihat kerinduan dari mata gadis itu pada kita," ucap Acacia.

"Hanya taman ini satu – satunya tempat gadis itu bermain. Bayangkan bila ia memaksa tetap bermain dan menghirup udara berpolutan ini. Apa kau tetap tega berbicara bahwa gadis itu predator kita ?" ucap Magnifera.

"Aku saja tak pernah terbesit sekalipun tangan gadis itu bisa membunuh kita. Bahkan membakar daun-daun kering kita yang berguguran pun ia tidak pernah. Selalu dibuatnya menjadi kompos dan diberikannya kembali pada kita agar kita bisa tumbuh subur dan sehat selalu," tutur Acacia.

"Aku harap kau mengingat dan merasakan kembali semua kasih sayang yang pernah gadis itu berikan padamu. Agar sumpah serapah yang kudengar tadi menjadi penyesalanmu kemudian hari," ujar Magnifera yang kembali fokus pada pandangannya kearah gadis mungil dibalik jendela.

Persea Americana merenung menyesali perkataan sumpah serapahnya.

Dari balik kaca jendela rumah, Liliana meratapi tumbuhan – tumbuhan di taman rumah miliknya. Walau diluar hampir sebagian besar tertutupi kabut asap, mata indah itu tetap berusaha menilik kearah taman, berharap tanaman – tanaman di tamannya tetap hidup sehat dan tidak sakit bahkan sampai mati.

Sudah beberapa minggu ia tidak diberi izin oleh orang tuanya untuk bermain keluar rumah. Tingkat ISPU didaerahnya semakin meningkat hingga tak lagi baik terhirup oleh paru – parunya yang masih dalam masa pertumbuhan. Ia hanya bisa membayangkan saat – saat bermain air sambil menyirami tanaman – tanaman di taman, bermain petak-umpet dengan sang ayah, sampai membalutkan beberapa kertas dan plaastik pada bakal buah mangga dan alpokat tanamannya.

Semburat sendu di wajah Liliana memperlihatkan betapa kakinya gatal ingin segera menginjak rerumputan di taman. Kapan kabut ini akan pergi ? pikirnya. Tanamanku butuh air dan makanan untuk bisa bertahan hidup. Apakah mereka akan keracunan ? Asap diluar sana semakin pekat, hati Liliana gundah gelisah.

"Ibu, bisa tidak kita buatkan rumah hijau untuk semua tanamanku ?" tanya Liliana pada ibunya, "Kasihan sekali mereka diluar sana ! terlalu banyak menghisap asap," sambung Liliana.

"Tentu boleh sayang. Bila hujan turun nanti kita akan keluar dan membuatkan rumah untuk tanaman – tanamanmu," jawab sang ibu.

"Kenapa harus menunggu hujan, Bu ?" tanya Liliana polos.

"Agar asapnya sedikit berkurang saat kita keluar rumah, sayang," jawab sang ibu lagi.

"Kalau begitu Liliana akan berdo'a meminta hujan pada Tuhan," timbal Liliana bersungguh – sungguh.

"Iya, sayang," balas ibu.

Dari taman rumah, Persea Americana meminta maaf pada sang gadis kecil atas sumpah serapahnya. Aku akan bertahan hidup ditengah kabut asap ini agar bisa memberikanmu buahku dan oksigen bagi paru – parumu, janji Persea Americana sambil menatap pada sang pemilik.

g3|E

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 01, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Balada Si AsapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang