1. Bandara, Udara, dan Rafa.

67 9 5
                                    

Ditengah kesibukan liburan kenaikan kelas, bukan berarti semua murid bebas. Mungkin sebagian hanya akan berpergian keluar kota untuk menikmati pemandangan, melepaskan penat, melupakan pelajaran, bahkan berfoto ria seakan-akan tak ada lagi mata pelajaran yang harus diikuti. Tak ada lagi guru killer yang harus dihindari, atau bahkan tak ada lagi terlambat lima menit yang akan membuat panik hingga harus berlari-lari. Tetapi tidak untuk Audy.

***

"Ma, pa, audy berangkat dulu ya." Ucapku lirih, tak tega meninggalkan kota kelahiran, kota seribu kenangan.

"Iya nak, kamu hati-hati disana ya jaga kesehatan. Makan yang banyak. Jangan lupa ibadah. Kamu disana harus sehat terus ya." Mama berderai air mata, melepas kepergian putri sulungnya lalu memelukku erat. Sangat erat.

"Iya ma, audy janji ga akan ngecewain papa mama. Audy berangkat ya. Assalamualaikum." Salam terakhirku terdengar begitu pedih, kerongkonganku terasa sangat kering, bahkan untuk menelanpun aku tak sanggup, terlalu pahit. Tetapi ini demi cita-cita.

Pagi ini bandara sungguh ramai, ntah apa yang mereka lakukan. Ibu-ibu yang kerepotan dengan koper besar, anak kecil yang memeluk bonekanya erat, petugas bandara yang sibuk memeriksa barang, sepasang kekasih yang melambaikan tangan dengan berat hati, dan aku sibuk menyipitkan mata. Mungkin karena efek begadangku semalam, atau perpisahan tadi yang membuat mataku terasa berat.

Sebenarnya aku tak terlalu suka tempat ini. Tempat yang membuat seribu umat harus rela melepaskan, merelakan, dan kehilangan. Sungguh terasa berat. Dan itu terjadi padaku sekarang. Mungkin benar kata orang.

Bandara. Dimana orang pergi. Kembali. Atau hanya singgah sebentar lalu pergi lagi.

***

"Eh maaf. Ga sengaja. Hehe maaf ya." Lelaki itu sepertinya seumuran denganku, tak sengaja tersandung kakiku dan menjatuhkan koper merah jambu.

Rambutnya tertata rapih, hidungnya mancung, kulitnya putih, mengenakan jaket abu-abu, celana hitam, dan sepatu abu-abu pula. Sekilas mirip artis remaja papan atas. Penyanyi atau bahkan model majalah. Ntahlah.

"Hehe iya gapapa kok, salah gue juga yang taruh koper ditengah gitu."

"Engga kok, salah gue. Gue jalannya ga pake liat soalnya lagi cari handphone gue ilang."

"Berapa nomornya? Gue telfonin deh."

"Sini gue aja."

"Yaudah nih." Dasar, repot banget ni orang. Ditolongin malah cerewet. Awas aja habis ini ngerepotin lagi.

"Ehh, ini ada untung hp nya gue vibrate. Makasih banget ya. Nih hp lo. Nguntungin banget kesandung kaki lo."

"Lo gila ya? Kaki gue sakit gini. Dikira enak."

"Yah, maaf deh. Nama lo siapa?"

"Gue audy, lo?"

"Cie bagus banget nama lo. Cantik ya kayak orangnya."

"Dih. Najis banget."

"Najis kenapa? Dipuji bukannya makasih malah ngatain gue najis."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 02, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Permen KapasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang