"Sheil! Sheila!" gadis itu berlari mendekati Sheila yang sedang duduk tenang dengan badan bersandar pilar penyangga sambil mendengarkan musik di depan kelasnya.
"Ada apa sih?" terpaksa Sheila bangun membuka matanya dan melepas headset di salah satu telinganya dan langsung menekan tombol stop di mp3 playernya.
Clara menunjukkan sebuah formulir tepat di muka Sheila, "What! Demi apa lo dapet ini, Clar!" ia mengangguk semangat sambil memperhatikan raut kaget Sheila.
Selembar formulir tentang minat siswa atau siswi SMA Harapan Jaya yang ingin mengikuti pertukaran pelajar ke Rusia. Memang dari awal SMA Harapan Jaya sudah bekerja sama dengan salah satu SMA di Rusia tepatnya di Moscow. Desas-desus yang pernah terdengar kegiatan pertukaran pelajar akan ditunda dalam beberapa tahun dan sampai sekarang pun belum ada berita lagi sejak desas-desus itu berlalu.
Sebuah keinginan Sheila yang harus ia capai. Keajaiban berpihak kepadanya."Tadi waktu gue ngumpulin buku tugas Fisika di kantor, tiba-tiba Pak Handika manggil gue dan ngasih formulir itu, terus gue juga disuruh ngumumin itu di kelas. Nah ini harapan lo Sheil. Lo wajib ikut, kesempatan bisa jadi gak datang untuk kedua kali loh Sheil," jelas Clara, mata Sheila memancarkan binar kebahagiaan.
"Gila! Ini berharga banget Clar. Iya betul gue wajib ikut. Kalau begitu, cepet umumin di kelas," ajak Sheila menarik tangan Clara menuju kelas.
"Hoi guys! Ada pengumuman hits nih!" seru Sheila mengawali di depan kelas.
Kelas XI-3 yang awalnya bising gara-gara jam pelajaran kosong, sekarang menjadi senyap bak pelajaran Matematika. Semua murid langsung duduk tenang dan memperhatikan Sheila dan Clara."Ini di tangan gue ada formulir pertukaran pelajar ke Rusia. Apakah di antara kalian ada yang berminat?" kata Clara. Mereka tampak menimang-nimang pikiran. Ada yang mengabaikan dan ada juga yang tampak terkejut.
"Rusia? Kenapa nggak Jepang aja," sahut Joni, si penghuni bangku pojok kiri depan.
"Sekolah kita 'kan kerjasamanya dengan Rusia bukan Jepang, Jon," jawab Clara seadanya.
"Berapa lama di sana? Dan biayanya?" tanya Erika, si bendahara tergarang sejagad kata anak-anak kelas XI-3.
"Bisa nggak si lo nggak ngomongin biaya. Hidup ikhlas tanpa pamrih kek," sahut Gilang yang notabenenya adalah musuh bebuyutan Erika. Karena Gilang paling susah kalau disuruh bayar uang kas yang per minggunya hanya dua ribu rupiah. Selain garang, ancaman yang keluar dari mulut Erika juga sangat mempan, namun hal itu tidak berlaku bagi Gilang.
"Lo punya otak nggak sih Lang? Ini biaya buat ke sana bukan biaya buat sedekah!" Sheila dan Clara hanya tertawa melihat tingkah kedua temannya itu. Sesekali Gilang mulai mencibir.
"Udah deh berantemnya ya. Sekarang gue lanjutin pertanyaan Erika tadi. Sesuai jadwal bagi yang berminat mereka akan berangkat 24 November mendatang sampai 22 November tahun depan, jadi ya kurang-lebihnya satu tahun di Rusia. Soal biaya, tentang paspor, visa, dan kawan-kawannya itu kalian urus sendiri. Tapi, biaya hidup dan sekolah di sana ditanggung oleh sekolah," jawab Clara.
Ooh, tanggapan klasik nan kompak.
Sebagian dari mereka terlihat cukup kecewa. Yang terbesit di pikiran mereka pasti semua kegiatan yang diadakan sekolah pastinya ditanggung juga oleh sekolah.
"Bagaimana? Ada yang berminat?" tanya Sheila pelan.
"Oh iya, sekolah kita bakal mengirim lima belas hingga dua puluh murid. Jadi, sebelum seleksi pasti ada tes seleksi. Ayolah guys ini kesempatan emas loh, sia-sia banget kalau nggak kita gunain," lanjut Clara.
"Terus kalian berdua mau ikut?" tanya Erika.
"Gue nggak bisa ikut, tapi Sheila bakal ikut kok," jawab Clara.
"Gila lo Sheil, lo betah LDR-an sama Genta setahun lamanya, kalau gue sih nggak betah ye," sahut seseorang yang baru saja tiba di kelas. Vicky - sahabat Genta.
Genta? Bisa-bisanya gue lupa, batin Sheila.
Sheila menggaruk lehernya yang tidak gatal itu, ia sedang mencerna ucapan Vicky barusan. Kata-katanya yang sukses menusuk hati Sheila dalam sekejap. Memang setelah melihat formulir tadi, Sheila langsung lupa segalanya. Bahkan sang pacar pun sampai terlupakan.
Entah Sheila bingung harus berkata apa.Clara menyikut lengan Sheila yang sedari tadi menatap kosong ke lantai, "Lo baik-baik aja 'kan?" Sheila mengangguk pelan.
●●
Telepon enggak telepon enggak ...
Sheila menggigit bibir bawahnya, matanya terus menatap bimbang kontak di layar ponselnya. Tertera nama 'Genta♡'
Segumpal perasaan kalut pun hadir bersama dering telepon Sheila."Mati gue!" pekik Sheila yang hampir membanting ponselnya ke lantai. Entah ada telepati apa, tiba-tiba Genta menghubungi Sheila, yang awalnya akan ia hubungi lebih dulu.
Angkat enggak angkat enggak ...
Dengan aksi lambat, Sheila menekan tombol hijau di layar ponselnya.
"Hallo, Ta."
"Hallo Sheil."
"Nggak biasa kamu nelepon. Ada apa Ta?"
"Oh enggak cuma kangen aja hehe."
"Dasar kumat deh. Oh iya Ta, besok ada yang mau aku omongin. Penting nih."
"Oke deh, besok pulang sekolah sekalian aku anterin kamu pulang atau mau jalan-jalan dulu juga boleh kok."
"Boleh juga. Ya udah aku tutup dulu ya, udah malem. Good night."
"Night too."
Sheila menghempaskan tubuhnya di kasur. Tubuhnya ia gulingkan kesana kemari, memikirkan apa reaksi Genta besok. Gadis itu memejamkan mata dengan menghembuskan nafas panjang dan udara berat yang bergumul di hatinya. Ia harus berpikir merangkai kata-kata untuk diucapkan besok.
.
.
.Tbc
1 seen + 1 vote + 1 comment = Berkah dan pahala 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Side (Slow Update)
Teen FictionDi tempat baru Satu tahun lamanya Menghapus cerita lama Menoreh cerita baru [Satu vomment dari readers adalah sejuta kebahagian bagi saya. Jangan lupa klik ☆ dan comment. Terima kasih ] Another Side, Cincaumelon.