Kau tahu hal apa yang paling menyebalkan di pagi hari? Yap, terlambat ke sekolah!
Jika bukan gara-gara Daniel, adikku 'tercinta' yang selalu tidak bisa bangun pagi meskipun aku telah membangunkannya berpuluh-puluh kali, aku yakin tidak akan terlambat. Kurcaci kecil itu tidak meminta maaf bahkan tidak merasa bersalah sama sekali! Sungguh menyebalkan.
Aku sudah berada di dalam perjalanan menuju ke sekolah. Jarak antara sekolah dengan rumahku memang lumayan jauh, butuh sekitar dua puluh menit untuk menempuhnya, dan itu sudah menggunakan bus. Bayangkan, dua puluh menit! Bukankah itu waktu yang cukup panjang?
Mengambil langkah seribu, aku mempercepat langkah dari halte bus menuju sekolah. Paling tidak jika aku setengah berlari, sekitar lima menit mungkin aku sudah berada di depan gerbang, pikirku. Namun tiba-tiba saja ponsel yang berada di saku jaketku bergetar. Tanpa pikir panjang segera kubaca sebuah pesan yang ternyata dari Jessica, sahabatku. Gadis itu menanyakan di mana keberadaanku sekarang. Tentu saja gadis itu bertanya-tanya karena aku belum menampakkan batang hidung di sekolah.
BRAK!
Tiba-tiba aku menghantam sesuatu yang keras sehingga jatuh ke belakang dengan pantat mencium tanah terlebih dahulu. Ponsel yang tadi sempat kupegang terlepas dari genggaman, dan mendarat dengan 'indahnya' ke jalanan aspal. Yap, indah. Ponsel yang sudah menemaniku selama dua tahun belakangan ini terlihat retak di bagian layarnya.
"What the–" Aku segera membungkam mulutku sendiri. Lebih baik aku menyelamatkan sisa-sisa ponselku terlebih dahulu baru meminta ganti rugi. Ponsel kesayanganku ....
"Maaf, aku tidak sengaja."
Mendengar suara seorang pemuda aku segera menolehkan kepalaku ke arah sumber suara. Di sampingku, terlihat jelas sesosok pemuda jangkung yang menjulang tinggi dengan rambut hitam polos berponi dan bentuk mata yang sedikit sipit. Ternyata pemuda itu orang asing, mungkin saja turis yang berasal dari Asia, entah dari Asia bagian mana. Pantas saja aksennya sedikit berbeda saat ia meminta maaf barusan.
"Kau harus menggantinya!" ucapku penuh dengan nada kekesalan. Minggu-minggu terakhir ini aku sedang dalam mode pengiritan karena harus hemat sebelum akhir bulan, dan tentunya tidak akan memiliki segelintir uang lebih untuk memperbaiki ponsel. Aku tidak mungkin meminta uang lebih dari ibu.
"Tetapi aku tidak sengaja menabrakmu ..." Pemuda itu masih bersikeras mengatakan jika tidak sengaja menabrakku.
"Kalau begitu ganti setengahnya saja!" balasku masih terbilang keras kepala. Setidaknya sedikit dispensasi penggantian uang juga tidak masalah.
"Tetapi ... aku sudah tidak punya uang. Uangku habis saat menaiki taksi tadi."
Tentu saja mengherankan mendapati jawaban seperti itu. Dia, orang asing bisa pergi ke Inggris, namun tidak memiliki uang sama sekali?
"Apa aku harus memberikan kartu kependudukanku?" Pemuda asing itu melanjutkan pertanyaannya, "Jika kau mau, akan aku berikan."
Mataku menyipit saat pemuda itu akan mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ransel yang berada di punggungnya. Dia benar-benar ingin memberikanku kartu identitas bukannya uang?
"Idiot." Aku benar-benar kesal karena sudah membuang waktu meladeni pemuda Asia tersebut. Kulangkahkan kakiku menjauhi pemuda itu yang nampaknya masih berada di tempat.
"Apa? Mengapa kau mengataiku idiot? Hei!" suara pemuda itu masih jelas terdengar di pendengaran, namun tetap saja aku tidak menghiraukannya. Jari-jemari milikku berusaha mengutak-atik ponsel, mencari keajaiban sekiranya ponselku masih bisa hidup. Namun harapan tinggal harapan. Layar ponselku tetap gelap dihiasi goresan memanjang pada layarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
[More Than] 30 Days
FantasyKau percaya hantu? Aku tidak. Tetapi mengapa harus aku yang terkena 'kutukan' ini? Apakah ini sebuah kutukan atau anugerah? -- Emily Wright--