Kamis, 28 Februari 2008

774 81 2
                                    

Hari ini: Kamis, 28 Februari 2008.

Selamat pagi, Avior. Aku sangat berharap bisa langsung menyampaikan salam ini padamu, namun apa boleh buat, aku tidak bisa.

Pagi ini sudah tidak ada buku "Bumi Manusia" di tanganmu yang digantikan oleh Walkman kuno. Apa yang sedang kamu dengarkan, Avior? Apa mungkin lagu favoritku, "Mimpi" yang dinyanyikan oleh Anggun?

Ah, tebakanku tidak meleset. Dari tatapanmu aku tahu benar kamu sedang mengingat hari itu. 4 tahun yang lalu...

•••

Melambung jauh terbang tinggi
Bersama mimpi
Terlelap dalam lautan emosi

Waktu itu, lirik dari lagu "Mimpi" ini sedang mengalun dari laptopku, menemaniku yang sedang membaca artikel-artikel The Big Bang Theory yang merupakan teori proses pembentukkan jagat raya yang kita hinggapi ini.

"Biar kutebak, lagu "Mimpi" adalah lagu favoritmu karena kamu berharap bisa melambung ke galaksi sana bersama dengan mimpi-mimpi astronomikalmu. Elara, Elara, kamu masih saja mudah untuk ditebak." Ujar Avior sambil duduk di sampingku.

Aku tertawa pelan, kemudian bertanya "Memang kedengarannya sepele, ya. Avior, apa mimpi terbesarmu?"

"Avior. Salah satu bintang paling terang namun tak seterang saudara-saudaranya yang cahayanya bisa dilihat dari berbagai penjuru semesta. Sementara Avior, cahayanya hanya bisa dipandang sebelah mata oleh bumi ini. Avior yang menjadi beban sebuah "keluarga sempurna". Apa aku berani untuk bermimpi?" kata Avior sembari menepuk pelan puncak kepalaku.

"Tidak berani? Sadarkah kamu bahwa dirimu itu bukan debu bintang? Kamu, Avior, punya meteor, komet, asteroid, konstelasi bintang, planet, galaksi, nebula bahkan jagat raya di dalam dirimu. Jangan menyangkalnya, karena wanita selalu benar."

Avior tertawa "Diamlah, Elara. Aku makin merasa bahwa aku tidak pantas berbicara denganmu, Elara si matahari yang sinarnya menghidupkan seluruh jagat raya. Sedangkan aku Avior, si bulan yang datang bersama kegelapan, yang hanya memantulkan cahaya milik matahari. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik."

"Coba pikirkan, apa kamu bisa memandang matahari secara langsung untuk mengaguminya? Matahari yang cahayanya menusuk bola matamu? Jawabannya tidak. Sedangkan bulan, kamu bisa mengagumi parasnya bahkan dalam kegelapan, ia menjadi makin indah."

"Manisnya mulutmu, namun sayangnya aku lebih menyukai manisnya permen jahe dibanding mulutmu." Ujar Avior sambil tertawa.

Aku memukul lengannya "Ya, ya, terserahlah. Aku nggak peduli lagi sama dirimu dan permen jahemu."

"Sayang sekali, padahal aku baru saja mau membawamu berkencan di Planetarium." Kata Avior sambil memandang langit biru yang hari ini sangat bersahabat.

"Maaf tuanku Avior, aku, Elara Johan, bisa pergi ke Planetarium sendiri. Dan kenapa kamu mau membawaku kencan, kapan aku bilang bahwa aku setuju untuk berkencan denganmu?" celotehku panjang lebar.

"Aku tidak perlu persetujuanmu, Elara Johan. Lusa, 29 Februari 2004, kamu akan pergi ke Planetarium bersamaku." Kata Avior sambil beranjak pergi, sambil memunggungiku dia melambaikan tangannya tanpa menoleh kearahku.

•••

Dan Avior yang sekarang sedang berada dalam bus mematikan lagu "Mimpi" kemudian menyimpan Walkman nya. Dia sudah sampai di halte tujuan. Aku sambung ceritanya besok lagi, ya. Jangan lupa tersenyum hari ini, Avior.

Di Atas Sekeping GalaksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang