Mutan

23 1 0
                                    

Aku merasa terbangun kembali. Aku bisa merasakan jari jemariku yang sempat dingin. Kelopak mataku seperti menyadari kehadiran tuannya. Tapi sepertinya ada yang berbeda. Apa sebenarnya aku terbangun di dunia setelah kematian? Apa kini di sampingku ada malaikat maut?
Aku membuka mataku. Rasanya seperti tertidur hanya barang lima menit saja. Tapi aku memijak rerumputan yang berbeda. Oksigen yang kuhirup terasa lebih menyesakan. Suhu badanku berbeda, panas. Gusiku gatal, rasanya gigiku seperti akan tumbuh lagi.
Kutatap sungai yang merefleksikan diriku dengan gaun putihnya. Diam. Aku terhenyak. Wajahku seperti seekor kucing. Mataku dengan warna lensa berbeda, gigi taring pada dua sudut bibirku, bulu-bulu dengan warna caliconya. Siapa aku sebenarnya? Aku berusaha menghapus refleksi kucing pada sungai, berharap diriku yang sebenarnya datang. Entah angin apa yang mendorongku, aku menjatuhkan diriku ke sungai. Baru kusadari sungai ini tak berdasar. Dengan kesusahan aku mengangkat diriku ke permukaan. Aku takut. Terlalu banyak air menyapu kulitku, bagaimana jika bakteri menempel pada tubuhku?
Secercah cahaya putih memasuki mataku. Kelopak mataku terlalu ringan untuk kubuka. Dimana aku? Mataku mengitari seisi ruangan yang seluruhnya bercat putih. Detak jantungku terdengar dari dalam monitor. Banyak selang pipa asing terpasang di tubuhku. Dingin. Selang tadi membuat sekujur tubuhku bergidik ngeri. Kengerian apalagi ini? Apa aku ini?
Hadir di hadapanku banyak lelaki dengan jas putihnya. Mata mereka menatapku seolah aku daging merah segar. Aku berusaha menjauh. Namun tanganku tertahan. Seluruh tubuhku terkunci pada dipan yang semakin lama terasa sakit. Entah suntikan apa yang mereka masukkan, tapi setidaknya kini aku merasa sedikit tenang. Wajah mereka terlihat lebih bersahabat. Seorang dari mereka terlihat mengajakku berbicara.
"Bagaimana perasaanmu, Sharon Kim?" dia tersenyum tipis.
Aku terdiam beberapa saat. Nama itu terdengar asing, kurasa itu bukanlah namaku. Kosakata aksara yang cukup asing menggetarkan gendang telingaku. Apa memang itu namaku? Mengapa semuanya terasa asing? Orang-orang yang tak sedikitpun aku kenali.
"Sh, Sharon Kim?" Aku menatapnya.
Dia seperti sedang memindaiku. Gila. Jiwaku sepertinya memang sudah gila. Seorang dari mereka melepaskan gembok yang melukai lenganku, dibawanya aku ke suatu ruangan yang lebih dingin.
"Baiklah Sharon, apa kau bisa mendengarku?" Aku hanya mengangguk.
Rasanya aku sudah tidak bisa menapak dengan dua kaki lagi, aku menurunkan kedua tanganku. Rasanya seperti inilah aku harus berdiri. Ini gila. Mengapa aku merasa diriku ini sebenarnya adalah kucing?
Hidungku merasakan aroma daging yang menggoda. Hasratku memaksaku untuk berlari, menghampiri aroma yang membuai hidungku.
Tiba-tiba aku merasa apa yang kulakukan salah. Aku terdiam. Aku menatap seorang wanita di balik kaca, lagi-lagi wanita yang kemarin. "Hentikan!" Aku meneriaki wanita tadi.
Kemudian segalanya kembali seperti semula. Lingkungan yang berbeda, namun jiwa kucing terus menggelayutiku. Kehidupan liar, mencari mangsa untuk makan malam, membersihkan badan dengan jilatan. Beberapa saat aku sadar keanehan terjadi, tapi kemudian aku melupakannya lagi.

***

Dingin
Ngeri
Tak ada secercahpun harapan
Aku terjebak di ruang liar lagi
Hidup bersama angin

Aku mengerjap, menderapkan langkah pada tapakan yang sama. Aku sangat mengenal kegelapan yang kutempuh. Kelalawar yang terbang selalu sama, aku sudah menghitungnya ribuan kali, dua ratus lima puluh enam, jumlah mereka. Tak berkurang, tak bertambah. Aku bingung. Apa aku berada di dunia keabadian? Tak ada satupun bunga layu, tiada tampak kunang-kunang yang tak bercahaya. Rembulan yang tetap purnama.
Siapapun, tarik aku kembali. Menjadi sosok manusia, yang tidak meliar dalam hidupnya.
Segalanya semakin jelas. Rasanya lebih menyakitkan, tertusuk sangat dalam. Aku ingat, aku harus menghempaskan diriku ke bebatuan agar aku segera terbangun. Tak peduli kepala yang sudah berdarah-darah, yang penting aku harus menjauh dari neraka mengerikan ini. Lenyap. Sayup. Hilang.
Pandanganku buram, tapi bumiku bisu, mana tahu mereka cara memberitahuku dimana keberadaanku. Tempat ini lagi. Sebuah kandang dengan jeruji yang tajam, aku seperti burung yang terjebak dalam kepenatan. Sekarang aku tersadar, seharusnya aku pasrah saja walaupun diriku menjadi pemangsa alam.

Terserah
Aku hanya ingin
HIDUP

***

Seed LeavesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang