Waktu menunjukkan hampir pukul 8 malam, pekerjaan rumah sudah kuselesaikan semua. Lantai sudah kusapu, jemuran sudah diangkat dan piring dengan satu porsi nasi ditambah tahu dan tempe sudah tersedia di atas meja, seharusnya tak lama lagi Ayahku pulang. Tentu saja aku sudah makan duluan, karena tidak ada gunanya menunggu dan makan bersamanya. Disaat tidak ada lagi yang kukerjakan seperti ini yang kulakukan hanya duduk di kursi menaikkan kaki dan menghipitnya dengan kedua tangan ke dada sambil membenamkan sebagian wajah sampai hidung ke lutut dan paha. Kebiasaan ini sudah kulakukan sejak dua tahun lalu, hanya bedanya dulu aku melakukannya sambil menangis. Kursi yang bentuknya sama persis seperti bangku di Sekolah Dasar ini pun sudah menemaniku sejak saat itu.
KRIEEEET...
Suara gesekan besi berkarat dan kayu lapuk yang berarti pintu reot depan rumah sedang dIbuka, pintu yang sisi-sisinya sudah keropos itu pasti bersuara sekalipun hanya digeser sedikit. Suara langkah kaki yang setengah diseret ditambah suara gesekan logam dengan lantai semen mendekat dari arah pintu masuk. Muncul sesosok pria paruh baya, sangat lusuh dengan rambut dan badan tak terawat sangat kontras dengan bajunya yang cukup bersih karena selalu kucuci. Ayah pulang dengan membawa cangkul, entah ia gunakan karena diminta menggali liang lahat baru atau dibawa untuk menakut-nakuti orang-orang iseng yang melakukan tindakan tidak jelas di daerah pemakaman pada malam hari. Cangkul yang dibawanya ia letakkan sesukanya, pandangannya kosong dan duduk di kursi dekat meja.
Ayah terdiam kaku dengan mata entah melihat kemana selama beberapa saat, tanpa ada yang tahu apa yang dipikirkanya –tidak, mungkin aku tahu apa yang dipikirkannya walau sepertinya hampir mustahil untuk manusia normal melakukannya sepanjang tahun. Tak lama ia melihat piring di sampingnya yang sudah kusiapkan dan mulai makan tanpa ekspresi sama sekali, aku bahkan tidak tahu apa ia menikmati makananya atau bosan dengan makanan yang itu-itu saja. Satu hal pasti yang kutahu soal makanan itu, Ayah tidak akan makan jika aku tidak menyiapkannya di atas meja, ia bahkan tidak peduli apakah ada makanan atau tidak. Dulu aku tidak menyiapkan makanan untuknya, dan ia bisa tidak makan selama satu atau dua hari. Bila ia makan pun makananya tak jelas ia dapat dari mana, bisa makanan yang tergeletak di tanah, makanan yang dikorek dari tong sampah atau bahkan mengambil milik orang lain tanpa rasa bersalah. seakan-akan ia makan hanya sebagai syarat bertahan hidup, begitupun soal mandi dan ganti baju, selama tidak membutuhkannya ia tidak akan buang tenaga untuk melakukannya.
Ia sedang makan dengan tenang tidak terburu-buru dan juga tidak telalu lambat. Aku tetap mengamatinya dari ujung ruangan di atas kursi kayu ini. Sepi, tidak ada suara lain kecuali bunyi benturan antara sendok dan piring. Ayahku seakan sudah kehilangan pita suaranya, walaupun aku pernah mendengarnya berbicara pada petugas pemerintah yang mengecek keadaan daerah pemakaman, tapi kalimat yang ia keluarkan tidak pernah lebih dari tiga kata, yang pernah kudengar hanya penggalan-penggalan kata saja seperti 'ya', 'baik' atau 'maaf' bahkan seringkali bila jawaban untuk lawan bicaranya bisa didapat tanpa berbicara ia lebih memilih melakukannya seperti mengangguk atau menggeleng. Keadaannya yang seperti ini mulai terjadi semenjak insiden kecelakaan dua tahun lalu yang menimpaku dan Ibuku.
Tidak, aku bukan arwah atau hantu gentayangan yang sedang mengamati Ayahku. Aku selamat dari kecelakaan itu dua tahun lalu, tapi tidak dengan Ibuku. Sampai sekarang pun aku masih sedih jika memikirkan Ibuku, bahkan aku tidak bisa berhenti menangis sampai hari pemakaman Ibuku, sungguh, tapi kesedihanku ini sepertinya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Ayah. Ia nampaknya sangat terpukul dengan kepergian Ibu. Sejak pemakaman itulah pandangan Ayah mulai kosong, ia tidak pernah masuk kerja, dan berhenti berbicara padaku walaupun aku menangis, menjerit, dan merengek. Sampai suatu hari Ayah pergi dan menghilang selama dua hari, ketika kembali ia langsung mengemasi barang seadanya dan menarikku ikut dengannya. Semua pertanyaanku tidak ada yang dijawab selama perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah kecil yang reot dan Ayah langusung pergi lagi meninggalkanku. Aku mengikutinya sambil menangis berharap ia mau menceritakan padaku sampai akhirnya aku sadar bahwa ini adalah daerah pemakaman tempat Ibu dimakamkan dan yang Ayah tuju tak lain adalah kuburan Ibu. Selama beberapa hari saat itu aku masih belum tahu apa yang terjadi, aku menangis tiap hari berharap Ayah menggubris dan memberiku jawaban. Ayah tidak memberiku makan, tidak berbicara denganku bahkan sepertinya sudah tidak menganggapku ada, sampai pada akhirnya Bibi Hamzah yang tinggal paling dekat dengan kami datang untuk memeriksa keadaanku karena melihat tingkah laku Ayahku yang aneh. Bibi sangat marah ketika melihat keadaanku yang kurus, lusuh dan tak terawat, ia memarahi Ayah habis-habisan bahkan membanting panci dan menampar wajanya, tapi Ayah tatap dingin tak bereaksi. Hari-hari setelahnya Bibi Hamzah dan orangtua Anitalah yang datang bergantian menengok keadaanku dan membawakan makanan. Dari mereka jugalah aku tau ternyata Ayah menjadi penjaga makam dan inilah tempat tinggal kami sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Son of Grave Keeper
RomancePernahkah melihat anak-anak yang sering terlihat pada acara pemakaman? Sesekali mereka hanya melihat dari jauh tetapi tak jarang juga mereka mendekati acara pemakaman bahkan mengikuti upacara serta membacakan doa-doa. Mereka bukannya hanya muncul pa...