ARUNA, RAINA, dan HUJAN (a begin and an end)

102 8 8
                                    

DI dunia ini ada dua tipe manusia: penyuka hujan dan pembenci hujan. Aku sudah pasti masuk kategori yang kedua. Meskipun namaku terdengar seperti nyanyian hujan. Raina Song Sinclair. Rain song.

Demi para ojek payung di seluruh permukaan bumi, aku tak habis pikir dengan orang-orang penyuka hujan. Apa sih bagusnya hujan? Sampai mereka membuat lagu tentang hujan, puisi tentang hujan, cerita tentang hujan, dan-kebanyakan-karya mereka pasti gloomy dan menye-menye. Ugh!

Saat hujan tiba, mereka akan duduk di samping jendela, menatap lamat-lamat ke luar, memandangi tetes demi tetes air yang berjatuhan. Membosankan. Belum lagi kalau petir menyambar di sana-sini. Suaranya keras dan mengejutkan. Hiii, mengerikan dan menyebalkan!

Kalau aku sih lebih memilih untuk tidur saja saat hujan tiba. Bergelung di balik selimut tuaku tersayang, menenggelamkan kepala di antara dua bantalku yang sudah setengah kempis, memeluk erat gulingku yang sudah bau liur. Ah, menyenangkan.

Kuberitahu, ya. Aruna itu penyuka hujan. Awal-awal mengenalnya, kukira Aruna itu cowok playboy yang suka main game di komputer seharian. Lihat sendiri tampangnya yang sok tampan itu! Oke, coret kata 'sok'-nya, ganti dengan 'memang'. Tapi, ternyata dia itu cowok... bagaimana menyebutnya, ya? Pokoknya, dia tidak seperti kelihatannya.

Aruna itu penggemar berat Lang Leav, dia bisa menyulap beberapa butir telur dengan tambahan gula dan tepung menjadi kue enak dalam sekejap, dia tidak memasang satu game pun di ponselnya, tapi dia sama menyebalkannya seperti hujan. Tingkat menyebalkannya sudah sampai level tertinggi deh-kalau kau mau tahu. Setiap kali hujan, dia selalu mengajakku bermain di luar. Hujan-hujanan. Aku tidak menolak sih, tapi aku juga tidak mengiyakan. Maksudku, aku akan keluar rumah bersamanya, tapi hanya sampai teras saja. Aku akan menontonnya berputar-putar, menengadah menatap langit dengan tangan terentang, menyambut turunnya bulir-bulir air hujan. Sedangkan aku sendiri akan menopang dagu dan menunggunya sampai selesai.

"Runa! Kau tidak takut? Kalau matahari muncul saat hujan begini kan artinya ada hantu perempuan sedang beranak?!"

Aruna tertawa. Tawanya menyebalkan, tapi aku suka. Eh, apa? Suka? Baiklah, akan kuakui. Aku suka tawanya. Seperti kue S'more, punya bagian serenyah biskuit Graham, ada bagian selembut permen marshmallow, dan di satu sisi manis selayaknya lelehan cokelat.

"Raina, kemarilah! Ayo main hujan-hujanan."

"Tidak mau!" seperti biasa aku menolaknya mentah-mentah dengan suara nyaring yang kata Aruna seperti suara anime. Enak saja, suaraku ini semerdu Celine Dion, tahu!

Aruna mendekat ke arahku, tangannya yang basah menarik lenganku. Tubuhku serasa seringan kapas dalam sentuhannya. Aneh, aku tidak menolak. Biasanya, kalau Aruna mulai memaksa aku akan membentaknya lalu berlari ke dalam rumah. Garis pada grafik mood-ku akan menukik tajam ke titik nol. Kami bertengkar, saling diam, tidak berbicara ke pada satu sama lain selama beberapa hari. Tapi kali ini aku menurut saja.

Mulanya aku menunduk terus, menghalangi titik-titik hujan menyapa wajahku. Segera Aruna menangkup kedua pipiku. Kami saling bertatapan. Meski air hujan menghalangi, aku bisa melihat parasnya dengan jelas. Aruna... terlihat lebih pucat.

"Kau sakit? Sudah kubilang jangan hujan-hujanan. Ayo masuk rumah!" omelku, namun Aruna tidak peduli. Malah tersenyum seolah mengejekku. Kukatakan lagi ya, Aruna menyebalkan!

"Raina, kenapa kau benci hujan?"

Ah, pertanyaan itu lagi. Aku sudah menjelaskan padanya sebanyak satu juta seratus lima puluh satu ribu kali tentang alasanku membenci hujan. Tapi dia malah bertanya lagi untuk yang ke satu juta seratus lima puluh satu ribu satu kalinya.

Aruna, Raina, dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang