Sampai detik ini pun aku masih bingung, sama bingungnya dengan tetanggaku. Mereka bertanya-tanya kepadaku saat aku memberi mereka lima kilo beras tiap bulannya. Aku harus berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya.
“Aneh,” kata salah seorang dari mereka, “bagaimana bisa kalian memberi kami beras, sedangkan kamu dan ibumu saja masih tinggal di rumah simbahmu. Bapakmu cuma tukang servis jam. Ibumu, dia cuma membantu simbahmu kan?”
Aku tersenyum saja. Aku tidak pernah menjawab pertanyaan mereka. Seperti pesan ibu, “Tugasmu hanya mengantar beras ini. Lalu pulang. Tidak usah ngobrol sama mereka. Jangan jawab apa pun pertanyaan mereka. Senyum saja. Paham?”
Aku paham. Meski sebenarnya aku ingin sekali menjawab pertanyaan mereka. Sesekali aku ingin menjawab dengan pertanyaan balik, “Menurut kalian, bagaimana cara kami bisa lebih kaya dari kalian?” Biar mereka berpikir sendiri, atau menduga-duga. Terserah saja.
Tapi sebenarnya wajar saja kalau mereka bertanya seperti itu. Coba kalian bayangkan, kami tinggal tidak jauh dari pemukiman kumuh di pinggir Kali Gede. Kumpul dengan tukang tambal ban, tukang parkir, penjual koran—yang nyambi jualan togel, ada pom bensin mini, ada tukang sampah, tukang semir sepatu, tukang las karbit, dan.. masih banyak lagi. Kapan-kapan kalian bisa main ke sini, jadi bisa lihat-lihat sendiri. Ya bagus-bagusnya ada satu orang yang berprofesi sebagai guru di sini.
Rumah kami berdesakan dan berderet sepanjang kali itu. Bahkan beberapa rumah saling berhimpitan. Aku rasa tidak ada satu tikus pun yang lewat di antara rumah kami, lantaran sangking sempitnya. Sepertinya segerombolan tikus lebih suka berlari-lari dari atap ke atap. Orang bilang, rumah kami yang lumayan agak beruntung, karena ada di pinggir jalan terluar. Orang yang lalu-lalang di jalan besar itu bisa mampir, sekadar minum es teh, kopi, merokok, sekalian beli lotek atau gado-gado kalau mereka lapar. Simbahku yang jualan dagangan itu semua. Simbah, ibunya ibu.
Ibuku? Seperti yang dibilang tetanggaku tadi, ia hanya membantu simbah menggoreng mendoan, tahu, tempe garing, dan kerupuk. Bapakku lebih santai lagi, setiap pagi ia pergi ke pasar yang tidak jauh dari rumah, sekitar 300-an meter. Di sana dia duduk di kursi kayu. Di depannya ada meja lumayan besar. Di atas meja itu ada sebuah kotak kaca berisi banyak jam tangan rusak dan perkakas kerjanya. Di kotak kaca itu tertulis: service jam. Dia pulang sore, ambil walesan lalu pergi begitu saja ke kali untuk memancing. Sayang, dia bukan pemancing andal seperti pemancing yang di acara TV itu. Dia tidak pernah pulang dengan membawa seekor ikan. Kata simbah, “Bapakmu itu lagi nyari wangsit!”
Begitu mendengar kata bapakmu, jujur saja tiba-tiba kepalaku jadi pusing. Beberapa kali aku mengambil cermin, mengamati satu per satu bagian wajahku, lalu mengamati foto bapakku yang terpajang di dinding kamar. Edan, pikirku. Tak ada satu pun kemiripan di wajah kami.
“Ndak usah dipikir,” cetus ibu ketika melihatku berdiri kaku di depan cermin, “kamu lebih ganteng dari bapakmu!”
Benar saja, kulitku putih, kulit bapak item. Mataku sipit, bola mata bapak besar seperti bola pingpong. Rambutku rapi lurus, rambut bapakku bergelombang acak-acakan. Dan ini, gigiku rata, gigi bapak agak menonjol ke depan. Itu belum seberapa, ada satu hal yang bikin tidurku tidak nyaman: bapak tidak pernah memelukku, atau sekadar melambaikan tangan saat aku mau berangkat sekolah. Sepertinya dia lebih menyayangi jam-jam bekas itu ketimbang menyayangi aku. Pernah dia marah-marah, sebab aku ngamuk, aku lempari kotak kacanya itu dengan batu. Pyaar!
Ingin sekali aku mengajak bapak menonton sinetron di TV. Di sinetron itu, aku melihat satu keluarga hidup di desa. Rumahnya kecil, tapi bersih dan rapi. Rumah mereka di dekat sawah dan di belakangnya ada tambak ikan. Setiap pagi, seorang ibu di rumah itu memasak nasi goreng dan menggoreng telur, mereka sarapan bersama di meja makan. Ada bapak, ada ibu, dan ketiga anaknya—cewek dua orang, dan satu cowok. Melihat mereka sarapan seperti itu, ingin sekali rasanya aku punya meja makan. Pernah aku bilang pada ibu untuk menaruh meja di dekat dapur, atau di depan TV saja. Tapi ibuku menolaknya. Bikin sesak rumah katanya. Itu artinya, kami tidak akan pernah makan di satu meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tanpa Bapak
Short StorySampai detik ini pun aku masih bingung, sama bingungnya dengan tetanggaku. Mereka bertanya-tanya kepadaku saat aku memberi mereka lima kilo beras tiap bulannya. Aku harus berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya. "Aneh," kata salah seorang dari...