The Bitter Reality

1.6K 74 15
                                    

"Pagi, sayang." sapaku mencoba menyentuh wajahmu yang masih terlelap.

Cahaya mentari yang mencoba menembus sela-sela jendela kamar mengenai pelupuk matamu. Kau sedikit menggeliat dengan tubuh mungilmu. Aku hanya tertawa kecil melihat kebiasaanmu yang belum hilang.

Perlahan kudekati tubuhmu yang terbaring nyenyak diranjang. Belaian demi belaian ku daratkan pada helaian rambut hitammu. Pelupuk matamu sedikit bergerak, kau sunggingkan sebuah senyum manis untuk menyambutku pagi ini. Senyuman yang selalu bisa membuatku merasa sangat bersemangat.

Perlahan matamu mulai terbuka, masih dengan senyuman cerahmu kau mulai beranjak bangkit untuk duduk, mencoba mengatur nafas untuk pagi ini. Ku dekati dirimu dan mulai memelukmu dari belakang seraya menyandarkan kepalaku dipunggungmu yang terasa begitu hangat.

"Kau masih seperti dulu, sayang. Manja dan pemalas. Aku mencintaimu." bisikku manja tepat di telingamu. Kalimat pertama untuk memulai harimu, memulai hari kita yang penuh warna.

Aktivitas seperti ini yang biasa kita lakukan untuk memulai hari-hari terindah kita, seperti biasanya. Kepalaku masih tertumpu dipundak sebelah kananmu. Kau menoleh kepadaku lantas kau tersenyum hangat. Hanya tersenyum. Walaupun tatapan matamu tidak mengarah padaku tapi aku yakin senyuman itu untukku. Senyuman menawan yang kau berikan seperti biasanya dan hanya untuk diriku.

Ya... hanya sebuah senyuman tapi mampu menjawab segala kegelisahan dan kerisauanku tentangmu. Aku merasa bahagia. Teramat sangat bahagia. Kau tidak mengecewakanku bahkan hampir tidak pernah melakukannya. Kau masih seperti biasanya. Seperti dulu. Kau masih kekasihku. Kekasihku yang begitu kucintai.

Dalam sekejap aku langsung tersadar, terhenyak oleh tatapan sendu di wajah tampanmu. Aku merasa terhempas pada satu kenyataan. Kenyataan pahit yang membelenggu cinta kita dan membuat kita tidak sedekat dulu lagi.

"Aku akan terlambat." desahmu terlihat kesal ketika melihat arah jarum jam wekermu.

Kau bebaskan dirimu dari pelukanku. Kau mulai bergegas meninggalkan tanpa berkata apa-apa lagi bahkan menoleh saja tidak.

Aku sedikit kecewa, merasa tersakiti tapi aku tidak ingin terus bersedih lagi. Mungkin kau masih marah dan kecewa padaku. Marah karena aku telah meninggalkanmu tanpa pamit terlebih dahulu. Kini aku kembali. Aku kembali untuk melihat keadaanmu meski hanya untuk sejenak. Aku sangat mengkhawatirkanmu dan kau terlihat mulai agak berubah. Kamarmu yang biasanya tertata rapi dan bersih kini terlihat berantakan begitu juga jam tidurmu yang tidak beraturan.

Apakah kau masih begitu benci atas peninggalanku?

Apakah kau masih sangat marah karena aku telah meninggalkanmu?

Maafkan aku sayang. Akupun tidak ingin hal ini terjadi, aku tidak pernah menginginkan perpisahan diantara kita tapi inilah takdir kita. Takdir hubungan kita. Tapi sudahlah yang telah berlalu biarlah berlalu.

Sekarang aku ingin memperbaiki semuanya bukan ingin mengembalikan semuanya semanis dan seperti dulu tapi aku ingin menebus kesalahanku padamu. Aku merasa sangat bersalah karena telah meninggalkanmu. Aku ingin melakukan sesuatu untukmu seperti... mungkin merapikan kamarmu yang terlihat semrawut, hanya hal kecil memang. Namun mungkin bisa mencicil rasa bersalahku padamu yang begitu mendalam, sampai kau mau memaafkanku dan memulai harimu dengan keceriaanmu kembali.

Aku terhenti sejenak di meja kecil yang terletak tepat disamping ranjangmu. Hatiku kembali meringis, sangat perih. Kau bahkan masih memajang foto kita berdua.

Bukankah itu akan membuatmu sangat sulit untuk melupakanku?

Atau mungkin kau memang tak ingin melupakanku?

The Bitter RealityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang