Helena

49 4 2
                                    

     Leo mendesah sambil memperhatikan asap tipis yang melayang keluar dari mulutnya. Ia mengisap kembali rokok yang dijepit di antara jari tengah dan telunjuknya sambil menatap langit biru yang terbentang di hadapannya. Punggungnya berbaring di atas atap sekolah yang keras dan datar.

     Teriakan dan suara teman-temannya terdengar dari bawah. Para pengurus OSIS telah menggalangkan lomba untuk memperingati kemerdekaan Indonesia, namun Leo tidak berniat untuk mengikutinya. Teriakan-teriakan dari pertengkaran orangtuanya tadi pagi masih menghantui pikiran Leo. Leo bahkan tidak mengerti mereka memperdebatkan apa. Ia langsung pergi ke sekolah tanpa ikut campur.

     Dasar sampah. Dunia ini sampah.

     Simon, ketua di kelas Leo, pasti sedang mencarinya saat ini. Leo berjanji akan masuk ke dalam timnya untuk lomba Agustus-an ini, namun dengan mood yang jelek, sepertinya Leo harus melanggar janjinya. Lomba 17 Agustus? Sampah. Apa baiknya mengenang pahlawan yang tidak pernah hadir untuk menolong Leo di saat ia sedang membutuhkannya? Mereka sudah meninggal, dan Leo semata-mata lebih membenci negaranya daripada menyayanginya. Lebih baik Indonesia hancur saja. Tidak, lebih baik seluruh dunia hancur saja.

     "Leo?"

     Leo menengok. Lalu ia tersenyum. "Helena."

     Helena berjalan ke arah Leo dan menyita rokoknya. "Kau bisa-bisa mati cepat karena ini, Le. Aku sudah bilang kepadamu untuk tidak merokok lagi!"

     Leo bangkit berdiri dan tersenyum main-main. "Kenapa?"

     Helena cemberut. "Pokoknya jangan merokok lagi. Lagipula, apa yang kau lakukan di sini? Aku dan Simon sudah mencarimu ke mana-mana! Simon akan menangis kalau ia tidak menemukanmu. Serius."

     Berkebalikan dengan Leo, Helena suka lomba 17 Agustus-an. Leo mendesah lagi. Sepertinya ia tidak akan bisa kabur lagi.

     Sekali lagi Leo menatap ke langit. Ia jadi teringat kalau gadis yang berdiri di dekatnya ini sudah pernah mencoba bunuh diri di atap sekolah lusinan kali banyaknya. Leo-lah yang menemukannya. Tidak ada yang bisa menduga kalau Helena merupakan seorang penderita depresi berat kalau hanya menilainya dari senyum malaikatnya.

     "Leooo...," bujuk Helena. "Ayo dong. Kita kekurangan orang untuk lombanya."

     "Iya deh," kata Leo. "Kalau kau dan Simon menangis, nanti aku yang repot."

     Helena tersenyum lega. "Kau pahlawan."

     Pahlawan?

     Leo ingat sekarang. Leo tidak ingin hanya mengagumi pahlawan kemerdekaan. Ia ingin menjadi pahlawan itu sendiri. Ia ingin melindungi Helena. Ia akan melindungi Helena. Ia berjanji.

     Sepertinya 17 Agustus kali ini telah menjadi sebuah makna untuk Leo. Anak bangsa tidak boleh menuntut untuk diselamatkan. Mereka harus belajar menyelamatkan yang lain terlebih dahulu. Dan Leo sedang melakukannya saat itu juga. Tanpa sadar.

     Leo mengembangkan senyumnya sambil mengulurkan tangannya kepada Helena. "Katanya kamu mau ikut lomba? Ayo cepat. Nanti kita ketinggalan."

HelenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang