"Jangan membuatku terbang terlalu tinggi
jika akhirnya kamulah penyebab aku harus jatuh ke dasar jurang."
Somebody To You
Hari ini, jam ini, menit ini, detik ini, kakiku serasa terpaku di tempat ku berdiri. Menyaksikan pemandangan paling mengerikan selama aku mengenal dia yang sedang berdiri tak lebih dari 3 meter di depanku. Bukan, bukan dia berlumur darah karena dibunuh orang lain. Bukan, bukan juga karena dia sedang bersama dengan kekasihnya. Tapi, lebih mengerikan dari itu.
Dia mengambil beberapa lembar foto terakhir yang ada di atas meja. Mengambilnya perlahan seolah lembaran foto itu terbuat dari kaca setipis kertas yang bisa pecah jika diambil secara kasar. Bisa ku lihat dengan jelas raut wajahnya yang datar dan tak terbaca, hatiku kebat-kebit dibuatnya. Entah apa yang harus ku katakan untuk menjelaskan semua nanti.
Rasanya hatiku mencelus keluar kala melihatnya menolehkan kepala ke arahku masih dengan ekspresi datar. Mengacungkan sebuah foto laki-laki berseragam putih abu yang tengah menggigit pensil sambil mengacak rambut, nampak serius mengerjakan soal dalam buku di hadapannya. Itu dia, fotonya yang kuambil tanpa dia sadari beberapa bulan lalu saat ujian tengah semester berlangsung.
Ragu aku maju selangkah ke arahnya. Masih dengan air muka sama seperti sebelumnya, dia mengacungkan foto kedua dari genggaman tangan yang lain. Foto laki-laki dengan kaus biru langit bergambar monster hitam bermata merah namun memiliki dua telinga panjang layaknya kelinci, membuat laki-laki dalam foto yang sedang bersandar pada mobil yang dipamerkan di GOR daerah rumah kami, terlihat lucu. Ini juga dia, fotonya yang ku jepret candid saat kami tak sengaja berpapasan minggu lalu di jogging track dalam GOR tersebut.
Selangkah maju lagi ku ambil. Dia mengacungkan foto ketiga, foto laki-laki dengan senyum lebar seperti manusia tak berdosa sedang berjongkok memegang bola basket yang jatuh di atas tanah karena gagal masuk ring, yang diambil dari sisi sebelah kanan tubuhnya. Foto yang backgroundnya sudah di edit menjadi hitam putih itu juga fotonya, diambil secara tak sadar saat dia asyik bermain basket berbulan-bulan yang lalu, aku lupa kapan tepatnya yang pasti itu saat awal semester ketigaku bersamanya.
Satu langkah lagi semakin mendekat. Ekspresi datar masih menemani dia mengacungkan foto selanjutnya. Laki-laki yang berdiri di dataran pasir sebuah gunung, berkaus hitam polos dan jeans yang membalut seluruh kaki panjangnya dengan ransel yang menggantung di kedua bahu. Foto tak sengaja yang diambil dari sisi sebelah kiri tubuhnya, kali ini bukan hasil bidikanku, tapi hasil jepretan dari kawannya yang saat itu sedang bersamanya. Yang lancangnya kuambil dari salah satu akun media sosial miliknya, lalu mencetak foto tersebut tanpa permisi.
Selangkah lagi dan menyisakan beberapa langkah lagi semakin dekat ke dirinya. Dia sudah berhenti mengacungkan foto lagi, tapi aku tahu masih ada satu foto di tangan kirinya yang sialnya aku lupa foto apa itu? Aku termangu, mencoba mengingat foto yang ada dalam genggaman laki-laki berkulit bersih yang sudah lebih dari dua tahun ini mengusik relung hatiku, memporak-porandakannya hingga tak berbentuk lagi.
Tap..tap..tap..
Bukan, itu bukan langkah kakiku yang mendekat ke arahnya. Itu langkah kakinya yang mendekat hingga sekarang berdiri tepat di hadapanku. Aku harus sedikit mendongak untuk menatap matanya karena tinggi kami yang berbeda sekian centi. Belum ada tanda-tanda dia akan mencairkan gumpalan es dari kedua bola matanya.
Tidak nyaman melandaku, berdiri sedekat ini dengannya sama sekali bukan ide yang bagus jika mengingat ia telah menemukan setumpuk lembar foto dirinya yang diambil secara candid di atas mejaku. Siapa lagi pelaku yang bisa dicurigainya sekarang selain aku?
Berhasil menelan ludah walau dengan susah payah merupakan sebuah berkah bagi kerongkonganku yang terasa kering sejak bermenit yang lalu saat pertama kali memasuki ruang kelas berisi seorang laki-laki berbahaya yang berhasil mencuri hatiku.
"Aku bisa menjelaskan semua."
Ucapanku barusan malah terdengar seperti cicitan anak tikus yang tengah diancam oleh seekor kucing besar berbulu lebat.
Yang ku ajak bicara malah mengangkat alis kirinya seolah mengatakan, "You-can-start-it."
Setelah menghembuskan napas panjang, ku kira aku sudah siap menerima semua yang akan terjadi setelah aku mengatakan beberapa baris kalimat ini, "Ya, sekarang kamu pasti sudah tau kalau aku memilik perasaan padamu. Aku tidak perlu menjelaskan darimana aku mendapatkan semua foto itu karena pasti kamu sudah tau, ya jika kamu ingat tentu saja.
Maaf jika aku mengambil foto itu tanpa izin darimu, aku benar-benar tidak ingin melakukannya tapi tanganku melakukan itu dengan sendirinya. Ah, aku terdengar semakin bodoh ya? Aku suka melihat semua ekspresimu, kelakuanmu, apapun itu. Jadi tanganku tergerak untuk mengabadikan momen itu dengan sendirinya meskipun akalku melarang. Aku tidak mau pertemanan kita koyak karena perasaan abstrak yang kumiliki untukmu. Ku mohon, setelah kamu tahu tentang perasaanku ini kamu jangan menjauhiku. Kalau kamu tidak suka cukup katakan, lalu aku akan menghapusnya dengan sangat cepat. Lagipula, sekarang aku sudah ada di garis akhir dalam hal melupakan perasaan ini. Aku mau kita tetap berteman sebaik sebelumnya."
"Kamu menyukaiku?" Suara beratnya menggema dalam ruang kelas yang hanya ada aku dan dia saja.
"Apa masih kurang jelas?" Tanyaku sembari menelengkan kepala ke kanan berusaha beralih dari tatapan dinginnya.
"Cukup jawab ya atau tidak." Titahnya dengan suara datar.
"Jangan menyuruhku mengatakan sejelas itu!" Jeritku tertahan, siapa sih yang mau menjawab pertanyaan seperti itu yang parahnya dikatakan oleh orang yang kau sukai sendiri?
Dia menghela napas, wajahnya sedikit melemas namun kata-kata yang dia ucapkan membuatku mematung, "Kamu membuatku bingung. Tolong jangan membuatku terbang terlalu tinggi jika akhirnya kamulah penyebab aku harus jatuh ke dasar jurang."
Setelah itu yang ku ingat adalah dia yang menyerahkan lembar foto terakhir dalam genggamnanya kepadaku. Foto laki-laki yang mengenakan setelan kemeja panjang berwarna putih dan jeans panjang hitam serta sepatu pantovel tengah menyodorkan setangkai mawar merah ke arah kamera. Ini satu-satunya foto sadar dirinya yang ku ambil atas permintaannya sendiri saat acara resepsi pernikahan guru kami minggu lalu.
---
Bunga mawar merah dalam vas bunga meja tamu yang sebelumnya dia komentari karena semerbak wanginya membuat selera makan hilang, menurutnya. Tapi selanjutnya, dia malah menarikku sambil membawa tangkai bunga tersebut menjauh dari acara lalu menyuruhku yang selalu menggantung kamera di leher untuk memfotonya dengan pose seakan akan memberikan mawar merah tersebut kepada siapapun yang melihat foto itu nantinya.
"Bunga mawar merah itu katanya tanda cinta ya? Aku mau orang yang melihat foto ini merasakan cinta yang terpancar dariku." Ujarnya saat itu sambil tersenyum, jenis senyum yang akan membuat gula iri karena kalah manis. Aku yang melihat pemandangan indah ciptaan Tuhan di hadapanku hanya bisa membatu dan tak bisa mengeluarkan sepatah katapun.
"Psst.. jangan kasih lihat ke orang lain ya." Pesan darinya saat itu yang baru kini ku tahu maknanya.
---
Sayang sekali, laki-laki itu sudah menjauh meninggalkanku yang sekarang merutuki kelemotanku mencerna kata-katanya minggu lalu.
"Dasar tidak peka!" Rutukku sembari mengejarnya yang mungkin masih ada di ujung koridor atau mungkin di parkiran. Aku mengejarnya, ya, aku mengejarnya. Sudah tidak masalah lagi kan jika perempuan yang mengejar laki-laki? Hehe.
Akhir kisah, semoga pengejaranku kali ini tidak sia-sia.
***
To be continued...
00.03 WIB, 14th May 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Somebody To You
Teen Fiction"All I wanna be, yeah all I ever wanna be yeah, yeah is Somebody To You" - Somebody To You by The Vamps feat Demi Lovato --- Aku suka dia. Dia teman baikku. Aku tidak pernah mau merusak pertemanan kami. Dia tidak akan pernah mau tahu tentang perasaa...