Pesan Ummi

1.9K 29 1
                                    

Pukul 03.00 Ummi sudah bangun, membangunkan kami sekeluarga. Abah dan Umar akan pergi ke masjid untuk sholat tahajjud, lalu aku dan ummi menyusul di belakang.

Abah dan Umar bisa sholat tahajjud dan 'itiqaf selama mungkin di masjid bersama santri dan santriwati. Namun, Ummi harus sudah berkecimpung dengan urusan dapur dan sumur. Beberapa santriwati ikut membantu Ummi. Aku pun biasanya demikian.

"Lila, tolong Ummi parut kelapa ya, Nduk," kata Ummi sambil menyerahkan kelapa yang sudah dibersihkan santriwati.

Aku dan Mbak Nurma memarut kelapa. Dua santriwati lain menyapu halaman, yang lainnya menanak nasi dan meracik bumbu masakan. Semua harus selesai sebelum adzan subuh.

"Kelapa untuk ibu masak lodeh, ya Nduk, sayur yang lain untuk santri dan santriwati."

"Ada yang mau datang to, Mi?" tanya Mbak Nurma. Ya, Ummi memasak masakan bersantan hanya saat spesial saja. Biasanya, jika ada tamu penting.

"Iya, teman Abah dan anaknya."

***
Menjelang waktu Dhuha, Abah dan Umar menjemput sahabat Abah yang kata Ummi ingin berkunjung. Biasanya, bukan Abah yang menjemput, tetapi mungkin ini sahabat spesial. Hingga Abah dan adikku Umar ikut menjemput.

Aku mendengar perbincangan Abah dan sahabatnya dari kamar. Samar-samar, kurang jelas suaranya. Tentu saja karena aku juga sedang mendengarkan tilawah Syaikh Sudais. Harapanku, aku bisa segera menjadi hafidzah seusai lulus MAN. Semoga demikian.

Tiba-tiba, Ummi datang ke kamarku. "Temui sahabat Abah, yuk. Mereka akan di sini selama beberapa hari."

"Mau memasukkan anaknya ke pesantren?" tanyaku lugu.

"Hush, anaknya sudah dewasa. Sudah 28 tahun. Dia sudah lulus mondok, sudah hafidz juga," kata Ummi.

"Mau jadi pengajar di sini?" tanyaku lugu. Jika bukan untuk menjadi santri, biasanya ya jadi volenteer atau pengajar di pesantren.

"Bukan, mereka ada urusan penting ke sini."

Aku lalu mengganti bajuku dengan yang lebih baik. Ummi memilihkan warna hijau tosca yang sangat jarang kugunakan. Aku tidak suka warna muda, terlalu mencolok. Tidak lupa, aku memilih niqab (cadar) dengan warna serupa.

"Cantiknya, putri Ummi," Ummi lalu mencium keningku.

Aneh, Ummi bersikap sangat ganjil. Tidak pernah Ummi memeluk dan mencium keningku selama ini.

***

"Nah, ini dia Alila, putri ana (saya) satu-satunya. Sudah hafal 28 juz Al quran. Prestasi di sekolah juga bagus, " Abah memperkenalkanku.

"Assalamu'alaikum, ami (paman) dan ammah (bibi)," sapaku.

"Alila, ini ami Fadil dan ammah Ariska, tinggal di Jakarta. Itu Mas Akhyar Zaini. Sudah lulus S2 dari UI. Alila mau masuk UI 'kan?" tanya Abah.

"Iya, Abah."

"Ini, tadi pagi Abah terima surat. Coba Alila baca."

Sebuah surat bersampul kop Universitas Indonesia. Jangan-jangan...

"Alhamdulillah, Alila diterima masuk dengan jalur PMDK, Abah."

"Baarakallah," seisi ruangan senang.

"Alhamdulillah, sepertinya memang Allah sudah merencanakan semuanya, akh (saudaraku)," kata Ami Fadil.

"Iya. Alila, boleh Abah minta sesuatu?"

"Apa Abah?"

"Boleh Abah minta Alila buka niqab?"

"Tapi..." aku ragu, lalu memandang Ummi. Ummi lalu mengangguk.

Maried With Hansom Stranger Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang