OSPEK

5.5K 37 18
                                    

Hari ini aku mulai kuliah. Masa orientasi namanya. Kami harus datang sepagi mungkin, tidak diantar dan harus membawa sejumlah barang yang menjadi tugas. Penugasannya pun menggunakan kode tertentu.

Sesungguhnya, aku tidak terlalu paham apa makna kami harus membawa "penyihir pasir" alias sandwich sebagai menu sarapan pagi wajib. Bagaimana jika yang masuk kampus ini bukan orang berpunya untuk membeli roti dan isinya? Mengapa juga sarapan kami harus seragam?

Apa sih makna dari orientasi ini? Pengenalan kampus dan lingkungan kampus? Lingkungan yang mana?

Terlebih lagi, beberapa kakak kelas sempat melakukan tindakan tidak bertoleransi terhadapku. Mereka mempermasalahkan niqab (cadarku).

"Hei, kamu, ninja hatori, maju kamu!"

Merasa bukan namaku yang dipanggil, aku diam saja.

"Kamu nggak mau maju?"

"Saya Kak? Nama saya Alila Hanifa, Kak."

"Kamu yang salah, Clara, dia punya nama. Dia juga bukan ninja hatori," bela seorang kakak kelas lainnya. Kuintip name tagnya, Burhanuddin Abdullah.

"Mereka ini anak baru, Dul. Terserah saya dong, mau panggil apa," tukas Clara sombong, "jangan karena dia pakai jilbab lebar, pakai cadar, terus kamu bela. Saya yakin, dia bahkan nggak hapal Pancasila."

Hapal Pancasila? Ini Ospek atau pelajaran PKN SD, sih?

"Coba kita buktikan."

Aku disuruh melafalkan Pancasila di depan seluruh panitia Ospek dan mahasiswa baru.

"Dia hapal, 'kan?" kata Abdul.

Fiuuh, selamat. Alhamdulillah.

"Assalamu'alaikum, namaku Nurul Fajrina."

"Wa'alaikumsalam, aku Alila Hanifa."

"Kamu jurusan apa?" tanya Nurul.

"Aku sastra Inggris."

"Kita satu jurusan! Alhamdulillah. Aku pikir kamu sastra Arab."

"Pasti karena niqabku, ya?"

"Iya. Hihihi."

Alhamdulillah, hari pertama orientasi, aku dapat seorang teman baru. Nurul Fajrina, biasa dipanggil Nurul, atau lebih akrab lagi, Nunu, adalah gadis imut yang baik hati dan sangat suka bercerita, sangat berseberangan denganku yang pendiam.

***

"Assalamu'alaikum," aku membuka pintu.

"Wa'alaikummussalam. Sudah pulang? Mas masak sayur asem nih," Akhyar tersenyum manis.

"What a lovely," aku menggodanya.

"Hmm, sudah pintar berbahasa Inggris rupanya Humairahku," Akhyar lalu mengecup dahiku.

"Mas pulang cepat?"

"Itu enaknya jadi pengusaha, Humairah, jam kerja Mas yang tentukan."

"Terima kasih ya, Mas," aku tersenyum.

"Apanya?"

"Sayur asemnya."

"Menyiapkan makanan bukan tugas utama istri, Humairah. Justru tugas suami."

"Loh kok?"

"Iya, karena suami sudah berjanji di hadapan Allah untuk menjaga dan melindungi istrinya. Semua yang menjadi tanggung jawab orang tua istrinya, sejak ijab qabul menjadi tanggung jawabnya, termasuk makanan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 21, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Maried With Hansom Stranger Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang