.
.
Chapter One: Holly Deal
.
.Sean Lincoln menghela napas, menyeret kopernya lelah setelah selesai menempuh perjalanan jauh dari London ke New York City.
Dengan langkah lunglai, pria itu berjalan menuju ruang tunggu bandara, sekedar duduk, dan menelepon seseorang. Tangannya dengan cekatan mencari sebuah kontak di ponselnya. Dia berdiri, menaruh ponsel di telinga, menunggu seseorang menjawab.
"Oh, Sean? Kau sudah sampai?" jawab seseorang dari seberang. Sean mengangguk kecil. Sadar orang di seberang tak akan bisa melihatnya mengangguk, Sean berdehem pelan.
"E-Ehm. Sudah. Aku sudah tiba sekitar ... setengah jam yang lalu." Sean menggigit bibir. Vincent menyuruhnya untuk menelepon jika sudah tiba. "Kau akan menjemputku, kan?"
"Oh, Ya Tuhan!" Vincent tiba-tiba memekik. "Aku lupa memberitahumu, Sean. Aku ada janji dengan klien dan itu tak bisa dibatalkan hanya untuk menjemputmu."
Sean mendelik tak terima.
"Maksudmu aku harus ke apartemenmu sendiri, begitu? Kau serius? Membiarkan aku yang baru pertama kali datang ke NYC untuk berkeliaran sendiri?" Sean jengkel, alisnya menyatu. "Penyambutan yang luar biasa, Vincent. Aku sangat menghargainya."
"Uh, kalem, Sean. Aku benar-benar minta maaf. Atau kusuruh Marcus saja untuk menjemputmu?"
Mata Sean makin terbelalak. "Pacarmu yang mesum itu? Tidak, terima kasih. Aku akan naik taksi sendiri,"
Vincent terkikik keras-keras di seberang. "Aku akan mengirimkan alamatnya padamu. Hati-hati, Sean. Aku mencintaimu. Kau juga mencintaiku, kan?"
Sean langsung menutup telepon. Vincent sialan. Sahabat macam apa dia itu? Tahu begini kan Sean bisa mengambil jadwal penerbangan berikutnya, jadi dia tidak akan terlantar di kota yang menurutnya asing ini.
Sean berjalan, pergi ke konter minuman untuk memesan sebuah milkshake rasa mocca dengan whipped cream melimpah. Penjual itu menatapnya aneh, mungkin aksen britishnya terlalu kental. Sean tak ambil pusing. Dia bisa belajar aksen american pada Vincent nanti.
Ponselnya bergetar, sebuah pesan singkat masuk. Sean segera membacanya.
.
Vincent Lee:
Emerold Green. 320 West 38th Street. Kunci minta di Mrs. Walkow, apartemen nomor 135. Aku menitipkan kunci padanya. Dia sudah tahu kau akan datang. Tenang saja, bill taksi akan kuganti. Aku pulang sekitar dua jam lagi.
.
Sean menutup ponselnya kasar. Vincent bicara omong kosong. Dasar wanita. Selalu membuat janji yang dia sendiri tak bisa tepati.
Sambil menyedot milkshake keras-keras, Sean keluar dari bandara penuh rasa jengkel. Pemandangan taksi-taksi berwarna kuning langsung menyapanya-kalau itu bisa dikatakan sebuah pemandangan. Sean memilih yang terdekat lalu masuk ke dalam taksi.
"Antarkan aku ke sini," kata Sean, menunjukkan pesan singkat Vincent pada sopir taksi. Sopir itu mengangguk paham. Dia langung menginjak pedal gas untuk membawa Sean pergi.
Di sepanjang perjalanan, kejengkelan Sean terhadap Vincent terlupakan. Dia sedang terkagum melihat gedung-gedung pencakar langit di NYC. Uh, dia kelihatan norak sekarang. Maksud Sean-benar di London juga banyak gedung tinggi, tapi semua itu old fashion, atau mungkin Sean yang sudah terlalu bosan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella Sean and Lucien
General FictionPerkenalkan Sean, pria, 18 tahun, yang harus memenuhi syarat gila dari sahabatnya untuk bisa tinggal di rumahnya. Syarat itu adalah-- berpura-pura menjadi seorang wanita di sebuah pesta topeng bergengsi. ------------------------------------- Sebut s...