2. The Day

4.7K 502 97
                                    

Akhirnya update:")

Saya merasa bersalah karena ninggalin ini gitu aja, jadi saya sempatkan update chapter ini sama chapter berikutnya (chapter 3).

Oh ya, bab ini sama kemarin ada yang diedit karena beberapa keteledoran. Terima kasih yang sudah meninggalkan vote dan komentar. Kalian anak baik yang bikin saya semangat dan pengen balik ke sini lagi ehehe.

Cheer up!

.

.

Chapter Two: The Day

.

.

Apa yang lebih horor dari ruang kerja Lucien Karouac?

Dokumen tertumpuk kacau di meja dan belum tersentuh sama sekali. Tumpahan bir di depan sofa yang meluber ke mana-mana. Jejak-jejak air dari sepatu basah di masing-masing lantai. Bau menyengat dari kaus kaki miliknya dan milik rekan kerjanya.

Well, semua itu belum cukup horor dibandingkan dengan aura Lucien sekarang; mencekam, menusuk, membunuh.

"Casey!" teriak Lucien dengan alisnya yang menyatu. "Kesini kau!"

Casey Hansen, rekan kerjanya yang berisik sepanjang waktu, berlari tergopoh memasuki ruang Lucien. Tangannya terpenuhi lembaran dengan tanda silang di sisi kiri. Rambutnya yang hampir panjang sebahu diikat ke atas. Kemeja hitam  yang tak sengaja keluar dari celana ketika ia berlarian, memberi kesan bad boy nyasar di kantor.

Wajah dengan dagu lancip itu tak lebih buruk dari seorang Lucien.

"Sinting," sungut Casey ketika tangannya baru saja menutup pintu. "Kau harusnya melawannya dengan mulut busukmu."

Lucien mendesis sinis. "Aku ingin mengunyahnya dengan gigi taringku kalau saja aku tak tahu dia berdaging keras."

Tangannya beralih membuka jas lalu melemparkannya asal ke sofa. Jemari panjangnya bergerak untuk melonggarkan dasi dan membuka tiga kancing teratas kemeja. Sementara Casey masih terpaku di ambang pintu, terlihat berpikir.

"Bukannya mengunyah itu pakai gigi geraham?"

Lucien tampak tidak menanggapi. Kepalanya sudah sangat berat dan butuh untuk disandarkan. Mulutnya bergumam kecil. "Lupakan relasi antara taring dan gerhana—"

"Geraham, Lu." Casey berlari ke depan Lucien. "Ge-ra-ha—"

"Shut the fuck up, Casey!" Lucien memukul keras meja. "Aku memang tolol biologi! Kau puas?"

"Bukannya begitu, Lu." Casey menyomot biskuit Lucien. "Aku hanya tak habis pikir orang berkepribadian parah sepertimu bisa jadi seorang CEO."

Casey menjilat remahan biskuit dari jari-jarinya. Lucien mengernyit jijik. "Maksudku adalah kau benar-benar parah. Pantas saja bohlam selalu menjatuhkanmu,"

Lucien, yang saat itu mengenakan kemeja kusut warna putih dengan dasi tak terpasang rapi, bergeming di balik meja kerjanya. Dia terlihat tenang, namun sorot mata itu mengatakan bahwa dia tak suka dengan apa yang Casey katakan. Jempolnya berulang kali menekan ujung pena, menimbulkan bunyi ctak ctak yang berisik di dalam ruangan. Dia memutar bola matanya malas, tangannya beralih mengambil sesuatu dari dalam laci.

"Ini." katanya, menyerahkan sesuatu kepada Casey tanpa ragu.

"Apalagi?" tanya Casey dengan sebelah alis terangkat. Dengan terpaksa, kepalanya kembali menoleh pada Lucien. "Apa? Apa?"

Cinderella Sean and LucienTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang