Blind and Blinded

76 7 2
                                    

Hampa, hanya itulah yang dapat terpancar dari mata itu. Ketika tubuhnya sudah terkulai lemas akibat rasa tercekat yang dia rasakan di lehernya.

Gadis itu melihat ke atas, membuat rambut hitamnya yang panjang tergerai sehingga wajahnya yang pucat pasi menengadah ke arah seseorang yang menatap gadis itu kembali, namun dengan senyuman yang menghiasi bibirnya ketika melihat keadaan gadis tersebut.

Tik...tik...tik...tik segalanya sekejap menjadi hening dengan napas tertahan. Hari ini satu jiwa telah pergi tepat pada jam 23.59, satu menit menuju tengah malam.

.
.

31:47:53 menuju tengah malam

Setiap hari dia selalu duduk disana, di sebuah bangku kayu yang terletak di taman komplek. Sesekali dia menyisir rambutnya yang hitam dan indah dengan jari-jarinya yang kecil dan di waktu yang lain dia hanya akan duduk terdiam memandang orang-orang di kejauhan hingga kemudian mulai asik mempermainkan rambutnya kembali.

Dia cantik, sangat cantik membuat siapapun yang melihatnya ingin memandang ke cermin dan melihat pantulan wajah mereka sendiri terlihat seperti wajah gadis itu. Tetapi, mereka akan kecewa setelah melihat pantulan suatu wajah yang tidak akan pernah tersenyum. Ya, gadis itu memang tidak pernah tersenyum atau mungkin bibirnya memanglah tidak tercipta untuk menyunggingkan senyuman.

Sudah hampir dua puluh dua tahun dia hidup seperti itu, hampir dua puluh dua tahun hingga dua hari lagi ketika gadis itu akan berulang tahun. Menyenangkan bukan? Hanya tinggal dua hari lagi dan dia akan dapat tersenyum untuk pertama kalinya. Gadis itu kini beranjak pergi dari tempat duduknya sebelum seseorang menggenggam tangannya untuk mengajak gadis itu untuk duduk kembali ke kursi kayu.

Dialah laki-laki itu yang selalu memperhatikannya entah sejak kapan, biasanya si laki-laki hanya berani menatap tanpa suara namun kini disinilah dia mengenggam tangan si gadis dan menariknya agar terduduk kembali di kursi.

"Tunggu sebentar, ada yang ingin aku tanyakan. Kumohon duduklah sebentar." Laki-laki terkadang dapat sangat menyusahkan, mereka dapat memerintahkan apa saja kepada seorang gadis untuk memenuhi keinginan mereka.

"Aku harus pulang sekarang." Gadis itu menolak permintaan si laki-laki dengan berdiri kembali dari tempat duduknya.

"Baiklah, paling tidak biarkan aku mengantarmu sekarang. Kamu tidak dapat pulang sendiri dengan keadaan matamu itu kan..?" Si laki-laki sejenak terdengar ragu akan kalimat yang baru saja dia katakan.

"Mataku adalah mataku dan itu bukanlah urusanmu." Gadis itu beranjak pergi setelah menempatkan tangannya ke pegangan tongkat yang selalu dia bawa untuk membantunya berjalan. Dia melangkahkan kakinya dan pergi meninggalkan lelaki itu sendirian.

Gadis itu berjalan perlahan menyusuri jalanan yang sudah dia kenal dari setiap kerikil dan patahan yang ada. Kurang dari sepuluh menit dia sudah sampai ke depan rumah. Setelah membuka pintu, gadis itu langsung menuju ke kamarnya dan tidak sekalipun menyapa kepada seisi rumah. Sepertinya hal itu memang tidak diperlukan, lagipula tidak ada yang akan benar-benar memperhatikannya disini.

Dia segera mengistirahatkan badannya di kasur dengan sprei berwarna putih, warna yang sangat sesuai baginya. Meski, sayang dia juga tidak dapat melihatnya. Jadi, dia hanya terdiam selama hampir tiga jam dalam keheningan dan kegelapan yang menyelimutinya setiap waktu. Hanya dapat menunggu dua puluh delapan jam menuju hari ulang tahun.

Hitam, kelabu, putih dan kemudian kembali lagi menuju hitam atau mungkin saja tetap menjadi putih, hanya manusia sendiri yang dapat menentukan. Bukankah seperti halnya kehidupan. Terkadang manusia dapat menjadi sangat jahat dan disaat berikutnya mereka dapat menjadi terlalu baik hingga mereka sendiripun muak akan kebenaran. Atau mungkin manusia akan selalu menjadi kelabu dengan jumlah dosa yang setara dengan pahala.

Blind And Blinded [Short Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang