The Pain

1K 71 9
                                    

Hari ini aku melihatnya, dia duduk di depan piano dan mulai menekan tuts dengan jarinya yang indah itu. Nada yang tercipta benar-benar memilukan, gelap, dan sarat kepedihan.

Matanya mulai terpejam, menghayati permainannya. Lihatlah garis wajahnya yang tajam itu, kini seakan penuh derita. Entah apa yang sebenarnya ia rasakan. Tapi melalui permainanya ini, aku merasakan perasaan kehilangan yang amat dalam.

Benarkah begitu? inikah yang sedang dirasakan lelaki itu? Sebenarnya ia telah kehilangan siapa?

Ah tunggu--- apa pula hubungannya denganku? Masa bodo dengan masalah yang dihadapi lelaki itu sekarang. Lagipula aku datang ke cafe ini hanya untuk menikmati permainan pianonya bukan untuk menerka-nerka hal apa yang telah dilalui si pianis tampan itu.

Aku kembali terhanyut dalam permainanya, kini aku mulai mencium aroma senja. Aku mencoba untuk memejamkan mataku, menikmati permainannya. Lalu tak lama kemudian otakku mulai bisa menggambarkan sesosok gadis cantik berambut caramel sebahu dengan manik mata madunya. Dia tersenyum, manis sekali. Tepat di sebelahnya ada sesesosok pria tamapan namun memiliki tatapan yang tajam sedingin es, ia menatap gadis itu ekspresinya benar-benar datar dan sulit dibaca. Pria itu meraih jemari lentik si gadis lalu menggenggamnya dengan erat seolah ia tak ingin membiarkan gadis caramel itu pergi kemana-mana. Ah, pasangan yang serasi menurutku.

Sang pianis kini mengubah tempo permainannya menjadi sedikit cepat namun mendayu-dayu. Tiba-tiba suasana berubah. Aku masih bisa mencium aroma senja, hanya saja ada sedikit wangi lain yang menyeruak, ini seperti... darah! Ya aroma darah.

Kini otakku menampilkan punggung tegap sang pria yang dibalut jas biru tua, sang gadis berada di pangkuannya. Matanya terpejam, wajahnya begitu damai namun kini paras cantiknya berselimut darah yang mengucur dari kening dan hidungnya. Pria itu menatap lekat-lekat wajah di hadapannya, ekspresinya masih saja datar namun tatapannya itu sarat akan kepedihan. Daun-daun berguguran di sekitar mereka angin bertiup menyampaikan aroma senja yang khas.

Tunggu, sepertinya aku mengenali pria itu.

Perlahan ku buka mataku dan memperhatikan wajah sang pianis.

Ah ternyata benar. Itu dirinya, pria itu sang pianis. Jadi begitukah kejadiannya? Aku tersenyum miris, pria itu memberi tahuku lewat permainannya yang dalam. Tapi sepertinya bukan hanya aku saja, ia juga membagi kisahnya kepada orang-orang di cafe ini yang juga terhanyut dalam permainannya itu.

Permainannya melambat, sepertinya ia sudah sampai di akhir lagu dan sebentar lagi akan mengakhiri permainanya yang menyesakkan ini. Aku terus memperhatikannya. Kini wajahnya tamapak lebih ringan dari sebelumnya ia membuka matanya, setetes air bening jatuh melalui sudut matanya. Ia tersenyum, tipis sekali. Lalu menggumamkan sesuatu,

'Selamat tinggal....' Kira-kira kata kata itulah yang aku tangkap melalui gerakan bibir tipisnya.

Jarinya kini berhenti menekan tuts piano, ia menyeka bekas air matanya. Lalu berdiri dan membungkuk memberi salam. Aku menatap kagum pada pria yang berdiri di atas panggung itu. Suasana sepi, semuanya masih terdiam dan hanyut dalam dunia yang diciptakan pria itu. Perlahan namun pasti sayup-sayup tepuk tangan mulai terdengar dan kelamaan mulai meramai membangunkan orang-orang dari lamunan mereka. Tepuk tangan meriah terdengar dari berbagai sudut cafe ini. Semuanya sungguh puas akan permainannya. Aku tersenyum senang dan memberi tepuk tangan padanya. Tanpa sadar stetes air mata lolos begitu saja dari pelupuk mataku.

'Kau sungguh hebat Rivaille,.....' gumamku saat melihat pria itu berbalik dan melangkah menuju belakang panggung. Meninggalkan pianonya, meninggalkan ramainya tepuk tangan, juga meninggalkan lukanya.

FIN

The PianistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang