Hujan

1.6K 83 7
                                    



Aku menyesap cokelat panas yang kupesan, hangatnya langsung menjalar ke tenggorokanku berbeda dengan suasana dingin yang menusuk kulit ini.

Hujan datang dengan sangat tiba-tiba, membuatku harus meneduh lantaran aku juga tak membawa payung yang biasanya selalu aku bawa, apalagi pada saat cuaca seperti ini. Aku terdiam menatap keluar cafe dengan sendu. Dulu, rintik-rintik itu adalah sahabatku.

"Permisi, ini cheesecake yang mbak pesan." ucap pelayan itu mengagetkanku, dia membawa nampan yang berisi cake pesananku.

"Ah iya, terimakasih." aku tersenyum ramah kepadanya.

"Sama-sama." jawabnya seraya membalas senyumanku.

Dulu, aku suka hujan. Setiap kali hujan turun aku tak pernah ingin untuk berteduh, selalu menikmati rintik-rintik yang turun membasahiku dari langit dan menghirup aroma khas yang menguap dari tanah, patrichor.

Dulu, aku selalu suka hujan. Aku bisa berkali-kali sakit karena aku selalu berlarian ketika hujan turun tapi itu tak pernah membuatku jera. Aku selalu menatap langit dengan perasaan bahagia, yang entah apa itu alasannya.

Dulu aku suka hujan, karena hujan pula aku bertemu dengannya.

****

Akhir akhir ini hujan seringkali turun apalagi pada saat pulang sekolah seperti sekarang, tapi tak apa aku senang. Walaupun pada akhirnya aku akan dimarahi karena pulang selalu basah kuyup.

Aku sedang menunggu sebuah bus kota mengantarku pulang, di halte dekat sekolahku, berdiri, sambil menatap langit yang sedang bersedih mengeluarkan air matanya. Entah kenapa rutinitas yang ku jalani selalu membuatku tenang.

Aku menjulurkan tangan keluar dari halte, menikmati tetesan air hujan yang dingin membasahi telapak tanganku. Biasanya aku lebih memilih jalan, tapi mungkin efek lelah dari belajar mati-matian untuk ujian nasional yang diadakan sebentar lagi membuatku ingin cepat-cepat sampai rumah dan beristirahat.

Seseorang laki-laki dengan seragam mirip sepertiku berlari dengan tergesa-gesa kearah halte dengan tas yang berada diatas kepalanya, menutupi dari air hujan. Ketika sampai dia menghembuskan nafas setengah lega setengah frustasi. Aku bisa mendengar gerutuannya, karena dia berdiri tepat disampingku.

"Kenapa harus hujan coba, bikin ribet aja." gerutunya seraya membentulkan tasnya. Aku tersenyum kecil mendengarnya.

"Hujan gak bikin seribet itu kok." mataku menerawang diantara hujan, tersenyum. Spontan dia menoleh kearahku.

"Gak seribet itu gimana, baru aja gue jalan sebentar udah hujan, mendadak banget lagi, mana gue juga gak bawa payung, pokoknya gue gak suka hujan." Aku tersenyum kearahnya, tersenyum manis. Dia tertegun melihatku, emosi di wajahnya perlahan memudar.

"Kamu lucu." ucapku dengan tawa kecil, yang membuat dia memalingkan mukanya malu.

"Yaa, terserah kamu sih mau suka hujan atau enggak aku gak larang." aku menjulurkan tanganku lagi ke bawah hujan.

"Tapi, menurutku hujan itu menenangkan. Suaranya yang menurutku merdu, dan aroma patrichor yang manis bisa bikin aku lebih rileks. Melihat langit yang sedang mengeluarkan air mata malah membuatku bahagia." aku tersenyum dengan mata berbinar. Dia yang disampingku terpana ketika aku berbicara, tak tahu harus berkata apa.

Seketika hening melanda, aku sibuk dengan kenyamananku, dia sibuk dengan lamunannya. Tak lama kemudian bus pun datang, tapi hanya tersisa untuk tiga atau empat orang lagi. Aku bergegas untuk segera menaiki bus itu seperti yang lainnya, tapi tidak dengan orang itu. Dia malah hanya menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan.

Hujan (One Shoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang