Aku baru selesai mandi, tengah mengeringkan rambut dengan handuk, ketika Radit masuk ke kamar. Saat aku pulang, dia dan ibunya sedang mengobrol di ruang tengah, entah membicarakan apa. Aku menyalami keduanya, lalu pamit ke kamar untuk mandi.
Pengendalian diriku buruk. Apalagi saat aku sedang merasa marah. Jalan terbaik yang bisa kuambil adalah menghindari ibu mertuaku, sebelum aku hilang kendali.
"Gimana acara jalan-jalannya?" tanyanya, seraya mendekat.
"Biasa aja," jawabku. "Gina masih semangat jodohin Zac sama Audri, Dee udah nggak morning sick, Artha masih jomlo."
"Oh..."
Aku sudah menyiapkan diri kalau dia akan mulai membahas tentang Dee, tapi ternyata tidak. Saat aku duduk di meja rias untuk memakai krim malam, dia duduk di tepi kasur, menghadapku.
"Tadi kamu denger omongan Ibu, ya?"
Aku tidak menjawab.
"Maaf, ya. Ibu cuma udah kepingin banget punya cucu, makanya sampe bilang gitu."
Jangan dijawab... jangan dijawab...
"Aku juga udah jelasin kalau kita emang nunda, karena masih mau adaptasi, persiapan mental sama lain-lain. Intinya Ibu udah nggak nyalahin kamu kok. Nggak usah dimasukin ke hati, ya?"
"Udah terlanjur masuk. Nusuk," balasku akhirnya, benar-benar kesal dia masih saja membela ibunya seperti ini. "Kenapa cuma aku yang disalahin? Emangnya bikin anak bisa cuma aku sendirian?"
"Maksud Ibu nggak gitu, Wi..."
"Aku ngerti maksudnya. Kamu itu suami sempurna, aku istri yang bermasalah. Nggak ada maksud lain."
Dia tidak menjawab.
Selalu seperti ini. Setiap kali kami adu mulut, hanya aku yang menyerang. Radit lebih memilih diam, membuatku kadang geram setengah mati. Selama satu tahun ini, juga berbulan-bulan kami menjalin hubungan entah apa, aku belum pernah satu kali pun melihatnya marah. Membentak atau berbicara kasar denganku pun tidak pernah, bahkan saat kami sedang bergelut di kasur. Entah manusia satu ini terbuat dari apa, aku masih belum memahaminya sama sekali.
Sejujurnya, aku mulai muak dengan pernikahan ini. Tapi ini baru setahun. Masih terlalu awal untuk mengambil kesimpulan apakah ini memang pernikahan buruk atau hanya sedang bermasalah seperti rumah tangga lainnya. Jadi aku memutuskan bersabar.
Apa ini sudah menjadi waktu yang ideal untuk memiliki anak, aku tidak tahu. Rasanya tidak adil seandainya aku akhirnya mau memiliki anak hanya untuk mengikat hubunganku dan Radit. Tidak adil untukku, juga untuk anak itu.
Tapi, jika terus seperti ini, kami tidak akan mengalami kemajuan. Aku terlalu keras kepala dan Radit terlalu... emotionless. Kasarnya, kami butuh penetral.
Aku menutup wadah krim malamku, kemudian beranjak menuju kasur. Radit sudah berbaring di posisinya, menyalakan TV. Dia tidak bisa tidur tanpa suara TV atau pantulan cahayanya. Awalnya itu menggangguku. Tapi sekarang aku sudah terbiasa.
Aku berbaring menyamping, menghadapnya. "Dit..."
Dia menoleh.
Aku diam, memikirkan kata-kata yang akan kuucapkan. Bagaimana cara memberitahu suami kalau kita sudah mau mencoba untuk punya anak? Atau aku hanya perlu langsung menyerangnya saja, seperti biasa?
"Kenapa?" tanyanya, saat aku hanya diam.
Aku menarik napas, mengembuskannya perlahan. "Aku berhenti minum pil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Tied
General Fiction[SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS] [SUDAH TERBIT] Pemenang Wattys Award 2016 kategori "PENULIS PERTAMA KALI" #3 The Tied Series "Adakah kesempatan kedua untuk kita?" [21+] #1 General Fiction [29/07/2016]