Part 2 - Thinking Out Loud

48 4 0
                                    

                                                           "Bahkan, kali ini aku memikirkannya."

***

        Hari ini adalah hari seminggu setelah kejadian bertabrakan dengan lelaki ber-tuxedo itu. Tapi, gadis ini bingung mengapa dia memikirkannya. Dia bingung bagaimana caranya melupakan lelaki itu dari isi kepalanya.

        "Hadeeh. Kenapa gue mikirin lelaki ber-tuxedo itu, sih?" Ucapnya sembari menatap kartu nama yang diberikan lelaki ber-tuxedo sepekan yang lalu. Dia terus memikirkan sebuah ide gila yang sedari kemarin terlintas di benaknya. Menelponnya.

        "Gak bisa! Gue gak boleh jadi kayak begini. Apa gue cerita sama Becca, ya? Nanti kalau diledek gimana?" Dia masih memikirkan kemungkinan lain yang akan terjadi jika dia bercerita dengan sahabatnya itu. Apakah dia akan diledek atau diberi solusi oleh sahabatnya itu. Ah, dia yakin bahwa Becca akan memberinya masukan. Meski ujung-ujungnya pasti diledek.

        "Pokoknya gue harus cerita sama Rebecca. Apapun resikonya. Meski gue nanti diledek sama dia," ucap gadis ini sembari meringis sedikit di akhir kalimatnya. Dia pun mencari telepon genggamnya dan menaruh kartu nama yang sedari tadi dia pegang ke dalam dompet miliknya. Ia pun mencari tas selempangnya lalu mengambil motor dan segera beranjak ke rumah Becca, sahabatnya.

***

        Saat ini Selina sudah berada di halaman rumah Rebecca. Dia berjalan sembari mlihat sekitar. Rasanya ada yang aneh. Ia melihat beberapa barang berada di luar. Merasa asing, dia pun segera masuk ke dalam rumah Rebecca. Alangkah kagetnya ketika ia menemui Rebecca sedang menangis di kaki ayahnya. Ibu Rebecca yang sadar akan kehadiran dirinya pun segera menghampiri Selina. Selina hanya mampu menatap Ibu Rebecca heran. Saat dia diajak ke luar rumah, dia baru sadar jika barang-barang tersebut milik sahabatnya.

        "Bu, ini maksudnya apa?" tanya Selina. Ibu Rebecca hanya mampu menatap cemas ke arah rumahnya. Lalu menatap Selina bingung.

         "Bu, ini ada apa?" tanya Selina kembali.

        "Si Rebecca minta ngekos, Neng. Bapak malah marah. Katanya gak boleh. Akhirnya sama Bapak disuruh pergi aja soalnya dari kemarin Rebecca minta terus. Ibu bingung caranya buat nenangin Bapak," ucap Ibu Rebecca sembari menangis. Selina hanya mampu mengelus pundaknya. Bahkan dulu kedua orang tuanya langsung mengizinkannya tanpa dimarahi atau semacamnya.

        "Saya bakal bantu, Bu." Ibu Rebecca hanya mampu tersenyum menatap Selina. Ia pun pergi menuju tempat di mana Rebecca sedang memohon dengan ayahnya. Ia tahu. Terkadang ada orang tua yang tidak begitu rela atas kepergian anaknya. Rindu tak dapat dibendung ketika seorang anak berada jauh sejengkal dari mereka.

        "Permisi, Pak."

        Selina menatap ngeri Ayah Rebecca yang masih acuh dengan anaknya yang sedang memohon di kakinya. Tetapi, perlahan wajah marahnya itu agak surut saat melihat kehadiran Selina. Rebecca pun segera mengusap wajahnya dan berjalan ke arah Selina dengan wajah memelasnya.

        "Sel, Sel. Tolong gue, Sel. Gue butuh banget bantuan lo. Gue butuh ngekos, Sel. Seel—"

        "Shh.. Udah. Gue ngomong dulu sama bapak lo, ya." Selina mencoba menenangkan Rebecca yang hanya disambut dengan tangisan tertahan. Selina pun berjalan ke arah ayah Rebecca.

        "Maaf. Saya tahu ini terlalu lancang, tapi—"

        "Kamu gak perlu ikut campur urusan saya sama anak saya. Jadi, saya persilakan kamu pergi dari sini dan—"

Choco-Caramel Cake [VERY SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang