Memories (Dita)

275 15 4
                                    

Seperti hari-hari sebelumnya, kafe ini selalu ramai dengan para remaja-remaja berpasangan yang sedang dimabuk asmara. Asmara yang didasarkan atas nama 'cinta' yang Agung. Cinta yang membuat mereka melupakan segala hal, termasuk konsekuensi dari perasaan tersebut.

Sakit.

Manusia sudah ditakdirkan untuk berjalan bukan terbang layaknya burung-burung dan sayap mereka. Maka, jika seorang manusia menentang takdir tersebut dan memaksakan untuk terbang, maka manusia tersebut harus terjatuh lebih dahulu dan merasakan sakit.

Apa ini berlebihan? Tidak.

Aku, contohnya.

Aku sakit. Aku patah hati, karena sebuah perasaan yang terus mengiming-imingiku dengan ketulusan dan kebahagiaan dunia.

Cinta.

Aku tidak mengerti apa artinya, yang aku mengerti bahwa rasanya ada pahit ada manis. Dan ... apa aku harus membahasnya sekarang? Kurasa tidak.

Seorang penyanyi kafe tersebut berjalan menaiki panggung kafe yang lebih tinggi, duduk di hadapan para pengunjung kafe yang rata-rata seumuran denganku, lalu mulai mengutak-atik gitar di pangkuannya sebentar.

Aku mengalihkan pandanganku.

Apapun yang penyanyi itu mainkan, aku mencoba agar tidak perduli.

"Selamat sore ...," suaranya tidak berubah, tetap seperti suara yang terakhir kali kuingat.

Suara yang terdengar tenang dan berwibawa bersamaan. Aku begitu paham dan hapal, jika suara seindah itu pandai menyembunyikan setiap emosi yang pemiliknya rasakan.

Lupakan! Aku datang ke sini bukan untuk mengenang masa lalu, aku ke sini untuk melampiaskan rasa sakitku dengan secangkir coklat panas favoritku di kafe ini. Dan aku menyesali keputusanku untuk memesan coklat panas favoritku disaat-saat seperti ini. Manis dan pahitnya coklat panas di kafe ini malah semakin mengingatkanku dengan kisah cintaku yang dapat dikatakan berputar dalam satu roda.

Aku mencoba mengosongkan pikiranku sejenak tentang kisah cinta yang selama ini kualami selama menjalani masa-masa SMA. Menyeruput coklat panasku perlahan, mencoba mencari ketenangan dalam asap yang mengepul di depan hidungku beraromakan coklat.

"Bagi yang belum kenal saya, saya Ardi. Salah satu penyanyi kafe ini jika ada waktu luang, dan informasi untuk sebagian pengunjung kafe ... saya single," dia tertawa renyah diikuti beberapa tawaan ringan dari pengunjung kafe yang jelas sekali didominasi oleh para remaja perempuan. "Pada sore-sore galau ini, saya akan membawakan lagu yang mendukung kalian para galau-ers." Ardi terkekeh sebentar kemudian mulai memetikkan senar gitarnya asal.

Hening.

Para pengunjung kafe mulai penasaran dengan lagu apa yang akan Ardi bawakan saat ini, begitu pun aku.

Tak dapat dipungkiri, lelucon murahannya tadi dapat sedikit menghibur rasa sakit yang sedang kurasakan kali ini. Walau hanya sedikit.

Ardi mulai memetikkan intro sebuah lagu.

Aku kenal lagu ini, dan ini bahaya. Ardi ternyata sadar bahwa aku sedang berada di sini, di kafe ini, menyaksikan penampilan Ardi sore ini.

Sore di mana awan kelabu mendominasi langit, mendukung perasaan galau dan rasa sakit hati yang sedang kualami. Sore di mana rintikkan air hujan mulai turun membasahi aspal jalan raya dan membuat sebagian dari para pejalan kaki mulai berjalan cepat, juga sebagian lagi yang dengan sigap membuka payung mereka.

A Rocket To The Moon, band favoritku dan Ardi, dulu. Yang sangat disayangkan, bahwa band tersebut kini telah bubar, dan hanya menyisakan lagu-lagu milik mereka yang masih dapat di download ilegal di internet.

Hold On | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang