If (Ana)

126 12 3
                                    

Sesak.

Biar kuawali hari ini kembali dengan rasa sesak dalam dada. Rasa rindu menggebu terus bergemuruh menyerukan padaku agar menghilangkan rasa gengsiku yang besar demi dapat melihat wajahnya.

Aku merindukannya.

Padahal baru beberapa jam yang lalu, aku dan dia berkomunikasi tatap mata lewat skype, yah ... walau berakhir buruk, sih.

Bukan hanya karena masalah gengsi, tapi juga karena semalam aku dan dia sempat bertengkar hanya karena rasa cemburuku.

Cemburu itu wajar, 'kan?

Aku hanya cemburu jika ia terlalu dekat dengan sahabatku di Indonesia. Aku takut, takut mendapatkan perasaan mereka yang akan bertumbuh menjadi cinta. Wajar, 'kan?

Dan jika aku menghubunginya lebih dulu, apa hal tersebut wajar?

Aku tidak tahu, sungguh.

Aku terus menatap layar komputerku, menimang apakah aku akan mengubunginya lebih dulu atau aku harus tetap berdiam bodoh di depan layar komputer menunggu dirinya lebih dulu yang menghubungiku?

Pusing.

Mengacak poniku yang terpisah dari kunciran rambutku kesal. Kenapa aku begitu menyebalkan?

Kenapa perasaan gengsi ini terus saja menguntitku?

Payah, kurasa aku akan berjalan-jalan sebentar di ujung jalan asrama. Mungkin kafe di ujung jalan dapat menghilangkan kepenatanku.

Entahlah, aku hanya merasa bahwa aku butuh udara segar.

Aku segera mengenakan mantelku. Di luar musim dingin, angin dingin pasti akan berhembus begitu aku keluar dari persembunyianku yang hangat ini. Andai dia ada di sini, pasti dia akan dengan senang hati menggosokkan telapak tangannya padaku hanya agar membuatku tetap merasa hangat, seperti beberapa tahun yang lalu saat kami tengah berlibur ke Bogor.

Simpel, memang.

Tapi apa yang aku dan dia lewatkan saat itu aku jamin, tak ada sedikit pun yang aku lupakan. Bahkan tawanya saat aku terjatuh ketika keluar dari mobil hanya karena keadaanku yang sedang mengantuk.

Aku kesal, tapi aku juga merasa bahagia dapat melihat tawanya karenaku.

Ah ... andai kejadian waktu itu dapat aku ulang bersamanya.

Tapi pasti tidak akan terjadi saat ini.

Aku di Boston, dia di Indonesia.

Beberapa bulan yang lalu, aku lulus dari masa-masa SMA-ku. Menjalani beberapa minggu kosong yang menyenangkan dengannya membuatku merasa yakin bahwa kami pasti akan langgeng sampai kakek-nenek.

Tapi semuanya hancur ketika aku mendengar bahwa aku telah diajukan menjadi salah satu siswi yang terpilih melanjutkan kuliah di Boston.

Aku terkejut, tentu saja.

If you go

I think I'd understand

Semuanya di luar rencanaku. Bahkan, saat itu aku tidak tega untuk memberitahukan hal tersebut pada Andra, kekasihku. Semuanya berjalan begitu tak terduga saat Andra tahu dengan sendirinya ketika ia tidak sengaja mendengar percakapanku dengan Dita-sahabatku di Indonesia-.

Ia menatapku tak percaya, kosong.

Aku ingat saat ia menatapku dengan tatapan kosong dan tak terbaca. Aku merasa bersalah, tentu saja. Aku terlalu menyayanginya sampai tidak tega untuk memberitahukan perihal kuliahku padanya tanpa memikirkan resikonya saat itu.

Hold On | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang