awal

38 1 1
                                    

Jakarta, 10 januari 2014

"Apa kau pernah mendengar apa itu cinta sejati?"

"Hmm.. ya aku pernah medengarnya"

"Apa kau juga pernah merasakannya?"

"Hmm.. mungkin, tapi entahlah"

"Apa kau tahu tempat dimana aku bisa menemukan cinta sejati itu?"

"Tentu saja"

"Dimana?"

"Di depan matamu"

  Saat itu, dia hanya diam tak bergeming menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Entahlah, apa alasannya yang membuatku berkata seperti itu tetapi sejujurnya itulah jawaban yang ingin aku berikan padanya.

Keheningan terus menguasai kami, sampai aku dikejutkan dengan gelak tawa yang terpingkal-pingkal keluar dari mulut tipisnya. Aku hanya menunduk malu, tak seharusnya aku mengatakan hal yang seharusnya tidak aku ucapkan. Ya, walaupun aku tahu dia bukanlah pria yang tidak peka terhadap perasaan seseorang. Aku tahu, dia pasti sadar jika aku mengharapkannya. Mengharapkan sesuatu yang mungkin sulit untuk aku gapai.

"Kau? Hahahaha... Di hadapanku itu hanya ada kau. Hhh.. entahlah, bagiku ini lelucon terlucu yang pernah aku dengar. Sepertinya kau sangat cocok menjadi seorang komedian. Haha.. aduh perutku terasa sakit sekali Hahaha..." Suara tawanya semakin nyaring terdengar di telingaku, tangannya terus memegang perutnya tanpa menghentikan tawanya yang sangat menjengkelkan itu bagiku.

Komedian? Kau mengataiku berbakat menjadi komedian? Lebih baik aku mendengar kau mengataiku komedoan dari pada kau menganggap apa yang aku katakan barusan adalah sebuah lelucon yang bodoh.

Aku hanya tersenyum getir menanggapinya. Sedikit aku menggeser tubuhku menjauhinya, memberi jarak untuk aku berkamuflase. Lagi-lagi aku hanya bisa bersembunyi di belakang senyum palsuku. Sungguh sangat menyedihkan hidupku ini yang selalu memasang wajah samaran yang berbeda dengan perasaanku setiap aku merasakan sesuatu yang mengohok hatiku.

"Sudahlah, ayo kita pulang! Ibumu pasti akan memarahiku jika mengantarkan putri kesayangannya ini pulang terlalu larut" Dia beranjak dari duduknya dan berjalan mendahuluiku. Aku hanya bisa tersenyum getir mendengarnya dan kemudian mengekorinya dari belakang.

Sepanjang perjalanan hanya keheningan yang menguasai kami. Entahlah, aku terlalu gengsi untuk memulai pembicaraan kami kali ini, mood ku sudah hancur sejak ia menganggap ucapanku di taman tadi hanya sebuah lelucon.

"Ck, bisa tidak jalannya pelan-pelan saja? Kau tahu tidak? Aku lelah sekali sedari tadi mengikutimu dari belakang yang jalannya sudah kaya dikejar setan"

"Haha.. Kau lupa? Kita memang sedang dikejar setan. Hmm mungkin lebih tepatnya ibumu" suara kekehannya terdengar seperti sebuah ejekan. Huh, menyebalkan sekali.

"Iya, iya aku tahu. Tapi langkah kaki mu itu dua kali langkah kaki ku dan itu membuat kaki ku sakit, menyebalkan"

"Sudahlah, kau cerewet sekali. Lebih baik kunci saja mulut rombengmu itu dan percepat laju jalanmu. Aku tidak mau mengambil resiko jika aku terlambat mengantarmu"

'Tcih, menyebalkan sekali. Aku pikir dia akan menggendongku tapi.. huh menyebalkan' batinku terus merutuki sikapnya. Dengan malas aku mengikutinya sambil menundukkan kepalaku. Tak sudi jika aku harus melihatnya, itu hanya akan membuat hatiku sakit saja. Bruk,    akh.. sakit sekali, aku menabrak sesuatu yang sangat keras.

"Kau! Kenapa kau berjongkok di situ? Ahh, kau.. kau ingin buang air? Oh astaga, kau jorok sekali"

"Tutup mulutmu itu seyna dan cepatlah naik ke punggungku, aku sudah muak mendengar umpatanmu itu" eh, kenapa dia bisa tahu? Pikirku.

"Cepatlah seyna! Sebelum aku berubah pikiran dan meninggalkanmu disini sendirian" gertakannya membuatku langsung tersadar dari lamunanku. Buru-buru aku naik ke punggungnya, ya walaupun aku tak yakin badan kerempengnya itu kuat menggendongku.

"Syeina, hei bangun! Kita sudah sampai"

"Engh.. benarkah?"

"Iya, kita sudah sampai. Cepatlah turun dari punggungku, kau berat sekali" keluhnya.

"Terima kasih sav" ucapku dan hanya dibalas anggukan dan sebuah senyum terbaiknya. Oh Tuhan, itu senyum terindah yang pernah ku lihat. "Kalau begitu aku masuk dulu, sampai jumpa" aku berbalik masuk ke rumah.

"Mm.. Seyna, tunggu!" Tangannya menggenggam tanganku. Tak sadarkah ia perbuatannya itu membuat jantungku ini seolah ingin keluar dari sarangnya.

"Ada yang ingin aku bicarakan, a-aku besok aku akan pindah ke Bandung" Deg, ucapannya membuatku terpaku, aku hanya diam tak bergeming. Seolah ada benda tajam yang menusuk-nusuk jantungku, sakit.

"Seyna, aku tahu kau mencintaiku sedari dulu dan aku tahu ucapanmu tadi bukan sebuah lelucon. Kalo aku boleh jujur, aku juga mencintaimu seyna, aku jatuh cinta sejak pertama aku menatap mata indahmu"

"Kenapa kau baru mengatakannya sekarang ,bodoh? Kenapa kau tak pernah menghiraukan setiap perlakuan manisku padamu? Kau-brengsek"

"Ya, a-aku hanya tak ingin kau berharap lebih seyna, aku tak ingin membuatmu sakit karna aku harus pergi"

"Aku mencintaimu savin, sangat"

"Aku tahu, tunggulah aku seyna. Aku akan kembali untukmu, berjanjilah untuk menungguku, berjanjilah untuk terus mencintaiku"

Jangan lupa v+c yaaaaa

Embun CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang