Kucing Putih

136 29 27
                                    

     Di sudut kantin asrama putri, gadis berambut coklat sebahu itu tengah sibuk dengan laptop berwarna hitam miliknya. Ia terlihat mencoba mengetik kata demi kata, lalu di hapus. Begitu pula seterusnya.

     Pikirannya sangat kacau akhir - akhir ini, bagaimana tidak? Ia mendapatkan perintah dari Bu Anisa untuk membuat sebuah puisi, lalu puisi tersebut harus di kirimkan ke majalah ternama.

     Sedangkan Adele adalah tipikal orang yang lebih suka bersenang - senang menghabiskan waktu di mall bersama teman - temannya, dibandingkan harus duduk berhadapan dengan laptop selama berjam - jam. Ia bahkan tak mengerti mengapa Bu Anisa memilihnya dalam hal seperti ini.

     Kali ini sudah lebih dari dua jam ia duduk di sana, tapi tak mendapatkan ide apapun. Ia bahkan telah menghabiskan dua cangkir green tea latte, tapi tak kunjung memperbaik isi kepalanya. Karena bosan, gadis itu mengambil handphone yang sedari tadi ia non - aktifkan, kemudian menyalakannya.

30 panggilan tak terjawab dan 56 pesan belum dibaca. Mata Adele terbelalak melihatnya, ia yakin bahwa ia baru saja mematikan handphonenya 2 jam yang lalu tidak lebih dari seminggu. Yang lebih mengagetkan ternyata yang melakukan itu semua Wati, teman satu kamar asramanya.

"HALO, DEL ? LO DARI MANA AJA SIH DI TELFONIN GAK AKTIF. TAU GAK SIH GUE TUH..."

Tanpa pikir panjang, Adele segera menjauhkan telinganya dari permukaan handphone.

Telinganya pasti bisa budek secara otomatis bila Wati mengomel seperti itu. Beberapa saat kemudian suara Wati sudah mulai mereda, Adele kembali menempelkan handphone.

"Sorry Wat, gue lagi banyak kerjaan. Emang ada apaan sih?"

"YAAMPUN DEL, KAN GUE TADI UDAH JELASIN. LO PASTI GAK DENGERIN GUE YA? EMANG YA LO TUH NYEBELIN BANGET, GUE UDAH..."

Adele menjauhkan permukaan handphone dari telinganya lagi. Dengan segera ia mematikan telepon begitu saja dan menutup laptopnya untuk secepatnya pergi ke asrama. Bagi Adele ini adalah pilihan yang terbaik daripada ia harus sakit telinga secara mendadak.

***

     Gadis itu segera beranjak dari kursi kantin, tapi tunggu. Makhluk itu, oh tidak ia muncul di hadapannya. Adele mundur dua langkah, tapi makhluk itu malah makin mendekat. Nafas Adele tertahan, dan tes. Sebutir keringat dingin muncul di pelipisnya. Sebelum makhluk itu membuatnya jantungan, ia segera mengambil langkah kaki seribu.

BRUKKK

Yap! Tanpa sadar kaki Adele menyandung sebuah batu besar, tidak usah ditanya lagi sudah pasti saat ini Adele telah tersungkur ke permukaan tanah dengan posisi sangat tidak strategis, persis seperti seekor cicak yang jatuh dari ketinggian. Dan tentu saja ini lebih buruk dari ekpektasi.

"Omaigat, sial banget sih ngapain pake acara jatuh segala." Gerutu Adele. Berusaha bangkit dan duduk senormal mungkin. Ya, tentu saja masih berada di lokasi ia terjatuh. Ia celingak - celinguk untuk memastikan kucing tadi sudah pergi, kalau perlu kucing itu lenyap di telan bumi.

"Sama kucing aja takut. Payah." Seorang laki - laki mengenakan kaus putih berdiri di hadapan Adele. Kedua tangannya menggendong kucing putih sialan itu sambil mengelus - ngelus lembut bulunya.

"Jauhin kucing itu dari hadapan gue." Adele menyeret tubuhnya menjauh.

"Kucing saya juga tidak akan mau dekat - dekat sama kamu." Laki - laki itu berbalik badan, berjalan kedepan tanpa memperdulikan gadis tergeletak malang di hadapannya.

"Hey tunggu! Lo harus tanggung jawab!" Adele berusaha berdiri dengan sisa tenaganya yang ada.

"Aaawww..." Gadis itu mengerang kesakitan, punggung kaki kirinya membiru bercampur darah dan pasir. Ia melihat kedepan, laki - laki berkaus putih itu telah hilang dari hadapannya.

Benar - benar cowok yang gak punya perasaan. Batin Adele kesal.

***

     BRAKK. Daun pintu dengan kasar Adele tutup begitu saja. Di hadapannya ada Wati dan Atifah, teman satu kamar asramanya. Mereka melihat Adele dengan penuh tanda tanya. Tak peduli, Adele langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur, ada rasa nyeri yang menjalar di kakinya.

"Del, kenapa?" Tanya Atifah penasaran.

     Atifah adalah gadis yang ceria, jika tersenyum gigi gingsulnya terlihat manis, belum lagi ditambah lesung pipi di samping kiri dan kanan pipinya. Tampak sempurna. Namun kali ini, raut wajahnya berubah panik, kesempurnaan itu tak terlihat.

"Lo kemana aja Del? Di cariin sama Bu Anisa tadi." Ceplos Wati asal. Wati dengan suara khas merdunya itu menghampiri Adele.

Mendengar ucapan wati, gadis itu teringat satu hal. Oh tidak, ia belum menuliskan sebait puisi pun. Padahal batas terakhirnya besok. Huft, Adele.. apa yang akan terjadi besok.

"Tadi gue lagi konsen ngerjain puisi Wat. Makanya handphone gue matiin." Adele bangkit dan duduk di pinggiran kasur. "Dan di jalan pulang, gue kena sial." Gadis itu menunjuk punggung kaki kirinya.

"Yaampun Del, lo main di mana sampe itu kaki biru - biru?"

"Main di kebon."

Atifah menatap Adele tajam.

"Del gue ambilin obat merah dulu ya." Wati berjalan menuju letak kotak obat tak jauh dari sebelah kamar mandi.

"Gue mintain alkohol deh ke Bu Anisa." Lanjut Atifah, ia segera bergegas menuju pintu dan menghilang.

     Di satu sisi, Adele merasa sangat beruntung punya sahabat sekaligus partner kamar asrama seperti Wati dan Atifah yang perhatian. Walaupun Atifah anaknya baperan sedangkan Wati lebih sering ngomel gak jelas. Tapi Adele tak bisa membayangkan bagaimana kalau gak ada mereka berdua. Mungkin tak ada lagi yang bisa ia jahilin lalu ia kunciin di kamar mandi ( Korban : Wati), dan tak ada lagi orang yang bisa ia coret - coret mukanya ketika sedang tidur ( Korban : Atifah ).

"Jadi siapa yang ngebuat lu jadi gini Del?" Tanya Wati, ia berjalan sambil membawa obat merah dan kapas di kedua tangannya.

"Gue gak tau namanya, dia cowok. Pasti tinggal di asrama putra, dan satu sekolah sama kita."

Bola mata Wati membesar. "Lo keluar wilayah asrama putri?" tanya Wati meyakinkan.

"Engga Wat, gue di kantin asrama putri. Gue juga gak tau dari mana asal itu cowok."

"Wahhh.. berani juga ya dia masuk ke wilayah asrama putri, gue laporin Bu Anisa tau rasa tuh cowok." Wati mengepalkan tangannya, berlagak seperti siap meninju seseorang. Melihat tingkat laku wati, Adelle merasakan geli di perutnya.

"Terus dia tanggung jawab Del?"

"Boro - boro tanggung jawab Wat. Dia aja langsung pergi ninggalin gue sendirian. Untung kantin lagi sepi, coba kalau rame? mau di simpen di mana muka gue."

"Tuker aja sama muka Mbak Win, Del. Biar aman hahahah." Wati nyengir. Adele menyipitkan matanya. Mbak Win adalah ibu kantin yang menjual surga makanan terenak di asrama putri.

"Nih Del alkoholnya, biar gue bersihin dulu luka lo." Atifah muncul dari balik pintu lalu mendekat ke arah Adele.

"Ceritain dong lo main di kebon mana?"

     Adele tertawa, Wati juga. Atifah hanya senyum - senyum tak mengerti. Setelah itu, Adele mulai menceritakan kejadian yang ia alami barusan. Dan cowok yang tak berprasaan itu ? Adele tak akan tinggal diam. Akan ia cari dan ia balas besok di sekolah.

***
Saran dan vote kalian sangat membantu loh! ^^

Berlari Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang