09

117 12 3
                                    

Hujan mengguyur kota Jakarta sejak satu jam yang lalu. Beruntungnya Dinda sudah sampai dirumah sebelum hujan turun.

Kini gadis itu sedang duduk di dekat jendela kamarnya. Memandang hujan yang turun seirama. Bulir bulir air mengalir di kaca, membawa tangan Dinda mengusap sisi kaca yang kering.

Sudah genap tujuh hari sejak ia mendengarkan segala cerita tentang masa lalu the gengs saat bersama Annisa. Semuanya masih menimbulkan teka teki untuk Dinda. Namun yang paling mengusik pikirannya belakangan ini adalah perasaan Fathur yang sebenarnya.

Banyak kemungkinan kemungkinan yang menyusup kepalanya. Bisa saja Dinda langsung menanyakan pada Fathur. Tapi Dinda fikir lagi, apa urusannya dengan perasaan Fathur? Dan lagi, mereka berdua memang belum bertemu lagi setelah terakhir bertemu di rumah Fathur saat ia sakit.

Menurut Febri, sejak Annisa kembali ke Jakarta, Fathur sering menghabiskan waktu bersama menemani Annisa. Kenyataan itu pun semakin membuat Dinda bertanya tanya.

Apa Fathur masih memiliki rasa itu? Sampai ia lebih memilih menemani Annisa daripada bermain dengan the gengs. Padahal Arin, Ocha, dan Febri tak ada yang peduli dengan kehadiran Annisa. Menurut mereka, Annisa hanya datang ke Jakarta untuk Fathur, bukan untuk mereka. Apalagi untuk meminta maaf. Annisa sudah berubah.

Dan sejujurnya, Dinda cukup resah karena kini rasa rindu mulai menyergapi dirinya. Hampir seminggu ia tak bertemu Fathur, rasanya seperti Fathur ditelan bumi setelah Annisa datang.

Entahlah.

Dinda hanya merasa... tergantikan? Mungkin.

Cukup lama Dinda berdiam diri di kamarnya. Sibuk dengan pikiran pikiran di kepalanya yang entah semakin rumit jika ia terus pikirkan.

Sampai ketukan di pintu kamarnya menghentakan Dinda dari dunia kecil miliknya. Semakin lama ketukan itu berubah menjadi gedoran yang membuat Dinda mau tak mau beranjak dari tempatnya dan membuka pintu itu.

Wajah panik Bi Inah lah yang pertama Dinda lihat. Bi Inah langsung menghela nafas lega setelah akhirnya Dinda membuka pintu.

Entah kenapa melihat wajah panik Bi Inah, Dinda jadi ikutan panik. Perasaannya mulai gaenak. "Ada apa Bi?"

"Itu Neng, ada temennya Neng Dinda di bawah. Dia ujan ujanan kayaknya Neng. Aduh Bibi jadi kasian."

Dinda membulatkan kedua matanya. Siapa temannya yang dateng sore sore gini teru ujan ujanan? Teman Dinda yang mana? "Siapa emangnya Bi? Temen aku yang mana?"

"Dia gak jawab Neng pas Bibi tanya. Mending Neng Dinda cepetan ke bawah deh kasian itu anaknya menggigil."

Dinda pun langsung mengambil kerudungnya dan memakainya cepat. Keduanya pun langsung menuruni tangga. Lalu Bi Inah mengambil handuk dan Dinda berjalan menuju pintu depan rumahnya.

Pelan pelan Dinda mengintip siapa teman yang dimaksud Bi Inah. Dan betapa kagetnya Dinda ketika mendapati Fathur yang berdiri disana, dengan tubuh basah kuyup dan bibir yang bergetar.

Dinda tak habis pikir lagi, ia langsung mengambil handuk dari Bi Inah dan langsung menyampirkannya pada bahu Fathur. Meskipun ia harus berjinjit karena Fathur lebih tinggi dari Dinda.

"Din-" Suara serak Fathur hampir tak terdengar karena tertimpa suara hujan. Dinda langsung menggeleng saat melihat Fathur ingin mengatakan sesuatu. "Nanti aja, sekarang lu bilas dulu. Abis itu ganti pake baju Kakak gue."

Dinda mengarahkan Fathur pada kamar mandi dan meninggalkan cowok itu untuk membilas tubuhnya.

Bi Inah sedang mengepel bekas air yang berceceran karena tubuh basah kuyup Fathur. Dinda memijat pelipisnya yang berdenyut, masih tak habis pikir apa maksud sebenernya yang Fathur lakukan ini. Dinda sempat mengintip ke luar rumah dan mendapati sebuah motor matic terparkir disana. Pantas saja Fathur basah kuyup. Tumben, padahal biasanya Fathur selalu bawa mobil.

You Are LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang