#2- Kebetulan yang sudah ditakdirkan

4 0 0
                                    

55 missed call

Gadis itu ternyata tak main-main soal rencana terornya. Alvin sebenarnya sudah kelewat tak tahan untuk mengangkatnya, tapi dia yakin bahwa gadis itu lambat laun pasti akan berhenti.

Dila, kakak Alvin, memilih untuk menutup telinganya menggunakan headset lalu pergi menjauh sebisa mungkin. Terkadang dia mengomel karena berisik namun dia sudah sangat paham dengan satu sifat yang dimiliki adiknya, sifat yang membuat semua orang jengkel; tuli tiba-tiba ketika mendengar celotehan yang menurutnya tak berguna.

Alvin masih berusaha berkonsentrasi dengan rubiknya, masih hingga akhirnya dia bangkit dan mengangkat telepon itu.

Alvin mengembuskan napas panjang lalu menempelkan ponsel itu di telinganya.

"Ha--"

"EH BALIKIN GAK HAPE GUE! BALIKIN!." suara sopran nyaring itu pun memenuhi seisi ruang tamu, Alvin langsung menjauhkan ponsel itu dari telinganya, takut-takut nanti benar-benar terkena penyakit tuli.

"Udah marah-marahnya? Gue matiin ya." balas Alvin yang membuat Aqila terdengar semakin menggeram di ujung sana. Alvin menutup sambungan telepon. Dia memilih untuk pergi ke kamarnya dan meninggalkan ponsel itu di ruang tamu, berharap agar tak diganggu.

Baru ingin menaiki tangga, Alvin berbalik dan mengambil ponsel itu bersamanya.

***

Aqila masih menunggu di tempat tidurnya sambil menatap layar ponsel lamanya, berharap agar ada seseorang yang meneleponnya malam ini.

Dia hampir tertidur ketika terdengar suara dering telepon, buru-buru diangkatnya tanpa melihat siapa yang meneleponnya.

"Halo." katanya seramah mungkin.

"Kayaknya gue salah sambung."

Diam pun merebak beberapa saat sebelum akhirnya Aqila menyadari suara di sambungan telepon itu bukan suara Hanif tapi....
Pemuda itu.

"NGAPAIN LO NELPON GUE? MAU MINTA GANTI BALIK HAPE LO? ATAU MAU--"

"Jangan salahin gue kalo hape lo gak balik."

"MAU LO APA SIH? NGANCEM MULU BI--"

"Lo bisa gak sih biarin gue ngomong dulu?" Alvin menggeram, Aqila hanya diam.

"Mending gue matiin lagi." Alvin menutup sambungan teleponnya. Lagi.

Aqila menatap layar ponselnya sebal. Mau tuh cowok apa sih? Batin Aqila pada dirinya.

Aqila juga harus bersabar selama satu tahun ini, harus bekerja sama dengan Alvin. Iya kalau mau kerjasama, kalau tidak? Bisa-bisa jadi pempek palembang kali dia.

Selama dan seumur hidupnya, Aqila berjanji pada dirinya sendiri bahwa cukup Alvin saja yang bisa sampai masuk ke dalam hidupnya, yang lain jangan.

Aqila menarik napas panjang, mengeluarkannya, melakukannya beberapa kali hingga dia rileks dan akhirnya terlelap tidur.

Esok paginya Aqila terbangun dengan keadaan masih mengantuk, dia terlebih dahulu mengumpulkan seluruh nyawanya sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidurnya.

Setelah dirasa sudah siap, ia pun turun ke lantai bawah untuk sarapan. Dimas sudah menunggu adiknya diluar, sesekali membunyikan klakson mobil tanda Aqila harus cepat-cepat. Tak lama Aqila pun keluar bersama Bunda, berpamitan lalu mengucapkan salam dan segera masuk ke dalam mobil.

Di dalam mobil hanya suara musik dari radio yang terdengar, kakak beradik itu sama-sama diam bahkan memang selalu diam. Aqila mematikan radio sedangkan Dimas masih fokus menyetir.

MEMORIES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang