Keesokan harinya.
Saat Christy menggerakkan tangannya mendorong jendela kamar hingga terbuka, angin pagi musim dingin langsung berhembus menerpa wajahnya. Dia menatap sebentar ke bawah, ke jalanan raya sejarak 40 lantai lebih dari tempatnya berdiri sekarang. Pemandangan di bawah tampak lucu. Christy tidak bisa membedakan apakah orang itu berkulit putih atau hitam, masih muda, remaja atau telah lanjut usia. Dia hanya bisa melihat warna-warni mantel musim dingin yang mereka kenakan, bergerak menyebar di atas permukaan aspal yang kelabu. Christy menelan ludahnya, memutuskan kembali menutup jendela sambil menekan bibirnya ke dalam satu garis keras. Kemudian gadis itu menarik napas, berusaha untuk menghilangkan segala bentuk kemarahan. Bukankah Clara sudah menerangkan segalanya pada Christy kemarin?
Theo sangat menyesal.
Ya, diam-diam Christy juga tahu bahwa Theo menyesali semua yang telah terjadi. Hanya saja, berusaha untuk tidak mencakar wajah orang yang telah merusak hidupmu sekaligus merenggut keperawananmu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Christy tahu bahwa Theo menyesal, namun itu bukan berarti dia bisa dengan mudah memaafkan Theo.
Clara berkata padanya untuk menganggap apartemen ini sebagai rumahnya sendiri, tetapi tetap saja, segalanya terasa asing bagi Christy, membuat gadis itu selalu bergerak dengan ekstra hati-hati agar tidak menyenggol benda apapun. Di atas kakinya yang telanjang, Christy melangkah melintasi ruangan demi ruangan, mencoba mengabaikan dinginnya lantai marmer di bawah telapak kakinya. Namun langkah kakinya langsung terhenti tepat ketika dia tiba di ambang pintu dapur.
Laki-laki itu berada disana.
Theo berada disana, tapi dia tidak sedang menatap Christy. Dia bahkan tampaknya tidak menyadari keberadaan Christy. Tubuh tegap pria itu bergerak di depan barisan meja konter, bergantian mengeluarkan piring dan menggunakan spatulanya untuk memindahkan makanan dari atas teflon panas ke piring porselen. Tidak sampai disitu, dia juga beranjak pada rak gantung dan meraih sekotak teh Earl Grey yang tampak begitu mudah dijangkau oleh tangannya yang panjang—dan didukung oleh postur tubuhnya yang tinggi.
Christy memiringkan wajah seraya menyandarkan sebagian tubuhnya ke kusen pintu. Baru kali ini dia benar-benar memperhatikan Theo secara fisikal, tanpa pandangan kebencian dan hasrat untuk menghajar pria itu hingga babak belur. Pria itu tampan, hal tersebut sudah pasti. Rambut pirangnya... tubuh tegapnya dan mata birunya. Membayangkan semua itu mendadak membuat Christy mual. Apakah dia memang benar-benar bersama Theo pada malam itu? Bersama laki-laki sesempurna dirinya?
Tepat sedetik kemudian, Theo berbalik sambil membawa piring porselen di kedua tangannya. Dia tampak terkejut begitu melihat kehadiran Christy, sama seperti Christy yang kelihatan salah tingkah. Keduanya terlibat dalam suasana yang canggung selama beberapa saat hingga Theo mengambil inisiatif untuk menyapa terlebih dahulu,
"Good morning," katanya,
Namun Christy tidak mengatakan apapun, gadis itu hanya memandang kaku. Theo tampak mengerti, memutuskan tidak mengatakan apapun lagi selain melangkah mendekati meja dan meletakkan pancake dalam piring porselen ke atas meja makan. Bersamaan ketika Theo melakukan itu, Christy merapat ke tembok, melintasi ruangan dan berada beberapa meter dari Theo. Meja makanlah yang kini menjadi penghalang mereka.
"Aku sudah membuatkan ini untukmu," kata Theo, berbalik ke arah dapur dan kembali membawa poci beserta set gelas, mengaturnya dengan rapi di atas meja. Kemudian dia menatap Christy dengan mata biru esnya yang jernih, "Well, aku mengerti kalau kau masih marah. Jadi aku akan meninggalkanmu disini sendiri. Dan lagi, aku juga masih memiliki agenda perusahaan yang harus kuhadiri, jadi, err... sampai jumpa lagi," Theo mengedikkan bahunya, lantas melangkah hendak meninggalkan ruangan itu.