Aku Kepergok [1]

3.8K 93 30
                                    

Try not to breathe 123
Try not to freak when you look at me
Gotta make me move bug i freeze
You don't have a clue
What you do to me
Girl you make me shy shy shy
You make me run and hide hide hide
Feel like i get lose in time
Whenever you need me
Girl you make me shy

Jai Waetford - SHY

-^-♡-^-

Warna jingga membalut langit. Matahari bertahta dengan celingus dari balik awan.

Seorang gadis yang duduk di sampingku rambut hitam legamnya --ikal di ujung rambut sepinggang-- menjutai menutupi sebagian wajahnya. Terpaan angin membuat rambutnya meliuk-liuk. Ingin sekali aku kasih jepitan untuk menjepit helai rambutnya yang mengganggu pandanganku tatkala ia menunduk. Tanganku terulur padanya hendak mengaitkan rambut ke belakang telinga. Kontradiksi, kutarik kembali tanganku.

Ia merenggangkan badannya lalu mencondongkan ke belakang dan bertumpu pada tangan di rerumputan. Kepalanya mendongak menatap langit senja. Perlahan-lahan mata belonya ia pejamkan. Kilauan sinar matahari memancar tepat di wajah ovalnya, melukiskan siluet yang luar biasa indah.

Aku memandanginya lekat-lekat. Memantri vista dalam otak. Hanya memandanginya dalam diam. Membiarkan keindahan panorama di hadapanku apa adanya.

Degupan dalam jantungku berpacu semakin cepat seiring aku memandangi panorama ini. Padahal aku hanya memandanginya.

Bagaimana kalau aku mengajaknya bicara tentang cinta? Bagaimana bila ia peka? Bagaimana seumpamanya aku menyatakan perasaan padanya?

Mungkin degup jantungku akan berhenti. Atau oksigen di paru-paruku akan bocor...

Tiba-tiba saja bibir tebalnya mengukir senyuman. Sebuah senyuman untuk langit senja sembari menengadahkan kepala. Aku pun ikut tersenyum, tertular senyumannya.

Dia memang sangat menyukai senja. Oleh sebab itu, sekarang kami berada di atas bukit demi bersantai hingga senja berakhir. Selepas itu aku akan mengantarnya pulang. Begitu rutinitas kami.

Mendadak badanku kaku. Ah, aku terlalu gugup. Kurenggangkan ototku yang kaku. Tangan, kaki, leher kurenggangkan perlahan. Baru sesudahnya mendekatkan posisi dudukku padanya secara impulsif. Tangan gemetarku bertumpu pada rerumputan yang mampu mengalihkan gugup.

Saat aku menentang gugup dengan memperhatikannya, ia membuka matanya dan langsung menatapku. Kami bersitatap selama beberapa detik. Ia tersenyum, menyapa. Segera aku membuang muka. Menyibukkan diri dengan mengamati tas punggungku di belakang tempat kududuk. Aku mengaduk-aduk isi tasku, bingung mencari sesuatu yang memang tidak aku cari. Aku berusaha menyembunyikan semu merah dari wajahku yang tidak terelakkan. Tanganku menangkap sebuah benda yang masuk akal. Dengan tangan yang masih gemetar aku menarik keluar sketch bookku. Aku mulai menyibukkan diri mengamati langit senja dan menggambar.

Suara cekikikan tawa yang tertahan berpadu dengan desir angin. Patah-patah aku mendongak menatap sumber suara tawa itu. Dialah sang empunya tawa tertahan yang manis itu. Mata coklatnya yang belo menyipit dan berbinar karna tertawa. Terlukis lesung pipit di kedua pipi tirusnya.

"Sungguh manis," kataku impulsif.

"WHAT?" tanyanya.

"Nope."

"Kamu kenapa jadi awkward gini deh?" tanya. "tampangmu freak banget." Kembali ia tertawa. Ia menyeka sudut matanya yang berair karena tertawa terlalu lama. "Aduh... duh. Gue sampe mengeluarkan air mata nih karena tadi muka lu freak banget." Ia kembali tertawa. Namun tiba-tiba tawanya terhenti dan ia menatapku serius. "Apa jangan-jangan lu lagi mengamati gue untuk lu gambar?"

Ia mengedipkan mata dengan bulu mata lebatnya yang lentik beberapa kali. Ia menunggu jawabanku. Aku terpaku sejenak pada matanya. Ada kharisma yang terpancar dari matanya membuatku mematung. Perpaduan antara mata yang manis dan tajam penuh dominasi. Aku pun menggerjapkan mataku.

"Jadi benar?" tanyanya lagi dengan suara yang lebih lembut.

Aku menggeleng, "Kamu apa bicarakan apa? Tidak kupahami." Aku tenggelamkan kembali wajahku ke sketch book. Aku masih salah tingkah ke-gap memandanginya.

"Jujurlah, Vir. Jadi gue akan pose yang manis." Ia mengerling padaku. Namun tatapannya teralihkan ke smartphone miliknya yang berdering sekilas. Aku meliriknya. Dia cekikikan sendiri sembari mengetik. Kemudian dia menatapku seperti baru memergoki maling.

"Tuh kan kamu melihat gue. Bahkan memperhatikan. Lagi. Mengakulah!" tuntutnya. Ia menekankan kata 'lagi' dalam kalimatnya.

"Aku hanya akan memastikab kamu benaran tertawa," ucapku tenang. Berusaha tenang, tepatnya.

Ia memutar bola matanya dengan jengah. "Ya... ya... ya..." Intonasinya berubah pada detik berikutnya. "Gue tahu kalau gue cantik. Kalau kamu mau gambar gue, bicarakan saja."

"Mana ada cewek cantik yang hobi menangis saat malam."

♡-♡

ShineYma
2 Juli 2016 (edited 060518)

Hai semuanya 😊
Aku hadir lebih cepat. Aku sudah publish cerita ini tanggal 2 Juli 2016.

Terimakasih untuk reader yang sudah menunggu cerita Kapan Dia Peka? Bagaimana pendapat kalian? Tolong berikan komentar khususnya kritikan kalau ada hal yang salah.

With love,
Ma

Jika kalian mau mengutip cerita ini dan share di instgram, silahkan tag aku @racauan.ma ^^

Kapan Dia Peka?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang