Tubuhku terbaring miring tidak berdaya.
Pandanganku buram.
Aku hampir tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
Dalam hati aku tahu ajalku sudah dekat. Tapi aku terus berharap malaikat pencabut nyawa belum sudi mampir ke hadapanku, karena aku belum mau mati.
Aku takut mati.
Bukannya aku takut akan kematian itu sendiri, tapi aku takut akan nasib mengerikan yang menungguku di dunia sana.
Maklum saja.
Aku ini bukan orang baik. Aku ini orang jahat. Sangat jahat.
Entah sudah berapa ratus nyawa orang tidak bersalah yang kurenggut dengan kedua tanganku ini. Entah sudah berapa ratus kali aku mengabaikan ratapan mereka, ketika dengan entengnya aku mengakhiri riwayat mereka. Entah sudah berapa ratus kali aku memandangi mata-mata mereka yang dipenuhi kebencian, putus asa, pasrah dan rasa penuh penyesalan.
Tapi hari itu, semuanya berbeda. Itu pertama kalinya aku bertemu dengan orang seperti itu. Orang yang matanya masih dipenuhi nyala api kehidupan, bahkan ketika berhadapan dengan pengganti malaikat pencabut nyawa sepertiku. Orang yang sama sekali tidak meratap, memohon, ataupun mengumpatiku ketika aku siap menghabisinya nyawanya. Orang yang sama sekali tidak terlihat takut atau gelisah, bahkan ketika senjataku sudah menempel di dahinya.
Sial...kalau aku sudah mulai melihat riwayat hidupku mengalir di depan mataku, ini artinya ajalku benar-benar sudah dekat....
****
Hari itu seperti biasanya aku mendapatkan pekerjaan.
Pekerjaan kotor seperti biasanya.
Maklum saja. Sehari-hari aku bekerja sebagai pembunuh bayaran. Jadi tentu saja pekerjaanku tidak jauh-jauh dari mencabut nyawa orang, walau terkadang aku juga disewa sebagai bodyguard dan penagih hutang.
“Dengarkan aku Heinkel! Ini adalah pekerjaan penting. Jangan sampai salah dan jangan sampai gagal! Kau harus membunuhnya begitu kau melihatnya. Jangan beri ampun. Benamkan semua peluru timah yang ada di senjatamu itu ke tubuhnya. Jangan beri ampun!”
Seperti biasanya, sebelum aku menjalankan tugasku, bosku memberi wejangan yang sudah entah berapa kali kudengar. Sampai aku bosan dan biasanya mengabaikan ucapannya.
“Tenang saja bos. Semuanya pasti beres. Kau tidak perlu khawatir,” balasku dengan santai sambil menghembuskan asap rokok yang sedang kuhisap. “Siapkan saja uangnya.”
Aah...nikotin itu memang sedap.
“Heinkel. Aku tahu kau ini pembunuh bayaran terbaik di negeri ini. Tapi lawan yang akan kau hadapi kali ini bukan lawan sembarangan!” ujar bosku lagi dengan nada jengkel karena aku menganggap enteng ucapannya. “Dia sudah menghabisi 4 orang pembunuh bayaran lainnya yang hampir sekelas dirimu!”
Aku mendengus begitu mendengar ucapan bosku.
“Yah. Kalau mereka bisa sampai terbunuh, itu artinya mereka tidak sekelas denganku,” ujarku sambil membuang puntung rokokku ke luar jendela. “Bos jangan lupa, aku ini Heinkel Gottweiter, The Night Raven. Tidak ada target yang selamat dariku kalau sudah berhadapan denganku.”
Bosku mendesah lagi sambil mengusap wajahnya karena jengkel. Dia lalu melemparkan map coklat padaku, yang langsung kutangkap dan kubuka.
“Itu targetmu kali ini,” ujar bosku sambil mengambil cerutu dari kotak cerutunya dan menyalakan rokok mahal itu, kemudian menghisapnya.
Ketika aku membaca data-data targetku itu aku terdiam.
“Bos! Yang benar saja!”
Aku melayangkan protes sambil melemparkan lembaran-lembaran berisi data-data itu ke arah mejanya.