Undangan Kematian

46 3 0
                                    

Aku memandang nanar pada sebuah undangan cantik berwarna kuning gading dihadapanku, undangan pernikahan yang tertulis nama Amanda Anindhiya Adhiyaksa dan Mahesa Pangestu Rahardian disampul depannya.
Aku membaca sekali lagi nama si Pria di undangan itu, aku seperti mengenali nama itu.
Mahesa.. Kaya pernah denger nama itu deh. Ah, aku ingat sekarang, bukankah itu nama lengkap dari Esa? Pacarku. Great, setelah pergi tanpa kabar setahun lalu kini dia kembali dengan namanya yang tertulis rapi disebuah undangan pernikahan.
Dadaku seketika terasa sesak dan tiap degupan jantungku terasa nyeri, air menggenang di pelupuk mataku dan dengan sekali kedip air mata itu mengalir dipipi dilanjut dengan isakan hebat sampai membuat bahuku bergetar.

Apa ini balasan atas cintaku selama ini?
Aku tau aku bukan perempuan paling baik, tapi aku juga ingin dihargai.
Setidaknya jika dia memutuskan aku dulu, aku nggak akan merasa sesakit ini.
Coba bayangkan jika kamu menjadi aku, pembaca.
Selama setahun ini khawatir dengan keberadaannya yang entah dimana, menanyakan pada keluarganya pun aku tidak diberi jawaban yang jelas, mereka hanya berkata kalau dia sedang ada pekerjaan diluar negeri.
Nomor ponselnya tidak pernah aktif juga media sosialnya.
Aku hanya bisa menghubunginya lewat email itu pun tak pernah dibalasnya.
Aku jadi curiga kalau aku ini bukan pacar satu-satunya. Dia pasti berselingkuh.
Dan sekarang dia mengirimiku undangan pernikahan, maksudnya apa? Apa belum cukup dia membikin hatiku sakit selama setahun ini? Lantas dia menambahkannya dengan undangan sialan itu, yang membuat hatiku seakan pecah.
Kemana janjinya dulu yang katanya akan menikahiku dan membahagiakan aku?

Duh Gusti.. Kalau tau akan jadi begini. Aku nggak akan memberikan seluruh hati ini padanya, harusnya ada yang kusisakan.
Sehingga kalau jatuh aku nggak akan jatuh ke titik paling bawah, yang membuatku merasa sakit hati seperti ini.

Tapi memangnya aku bisa mengatur hal itu? Saat mencintainya dulu aku hanya memikirkan kebahagiaan bersamanya juga percaya pada janji-janjinya yang semu.
Aku tak berpikir kalau aku akan mengalami hal ini.

Aku melangkah sambil mengusap kasar pipiku aku melimbai pelan sambil meremas undangan sialan itu dan mengambil ponselku diatas meja.
Setelah menekan panggilan cepat nomor tiga aku menggenggam ponselku didekat telinga.

"Lohaa, dengan Mai disini ada yang bisa dibantu?"
Suara riang perempuan diseberang sana membuat airmataku menetes lagi. Aku menangis sesenggukan,

"Tata, lo kenapa nangis?" barangkali suara tangisku sampai padanya

"Tolongin gue, Mai." aku berbicara disela tangisku pada sahabatku. Mai

"Lo kenapa Ta? Lo ada di rumah kan? Jangan kemana-mana gue kesana sekarang."

Tutt tutt tutt.
Sambungan telefon terputus begitu saja, aku menelfon Mai karena cuma dia yang bisa jadi tong curhatku juga mendengarkan semua keluhanku.
Orang tuaku? Ayahku meninggal beberapa tahun lalu, sedangkan mamaku peduli setan dengan kehidupan anak gadisnya.
Beliau malah sibuk dengan pekerjaan dan suami barunya.
Beliau tinggal diluar kota, aku memang sempat ditawarkan ikut dengannya dan tinggal dengan keluarga tiri.
Tapi tidak, terima kasih aku lebih suka tinggal sendirian.
Setiap bulan memang jumlah uang di rekeningku makin bertambah, tapi aku tidak pernah menyentuhnya sama sekali. Aku bekerja sendiri untuk biaya kuliahku.

Dapat kudengar suara motor matic yang berhenti didepan rumahku, aku mengenalnya dengan baik. Itu suara motor Mai.
Dia sepertinya tau kalau pintu rumahku tidak terkunci, jadi dia langsung membuka pintunya dengan terburu-buru, begitu matanya menangkap diriku yang sedang duduk dilantai dekat sofa dia berkata
"Yaampun, Ta. Lo kenapa?" dia duduk dihadapanku lalu menyingkirkan rambut kusutku dari wajah, dan menghapus airmataku.

"Esa, Mai.. Hikss."
Aku terisak-isak dan langsung memeluk tubuh mungil sahabatku.

"Esa kenapa? Sshh, udah Ta. Jangan nangis gini, gue jadi pengen nangis juga nih jadinya." dia mengelus rambutku lembut, tanpa menghentikan tangisanku aku menyorongkan undangan yang sudah berbentuk bola kertas itu ke tangan Mai.
Mai menatapku lalu mulai membaca apa isi dari undangan sialan itu.

Don't Go Breaking My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang