02 : Mapo-gu, Hapjeong-dong.

62 0 1
                                    

Sudah bertahun-tahun aku menjadi trainee di sini, dan selama itu juga tidak ada kepastian kapan aku akan debut. Aku telah menghabiskan masa mudaku di sini, berlatih dengan keras untuk mendapatkan debutku, berpisah dengan orang tuaku, dan.. dia. Beberapa tahun yang lalu aku meninggalkannya hanya demi keegoisanku yang sampai sekarang tak kunjung membuahkan hasil. Terkadang aku menyesali keputusan bodohku ini, tapi tak jarang juga aku bersyukur kepada Tuhan karena telah membawaku menuju pintu kesuksesan yang hampir aku gapai.

"Jennie eonni." Sebuah suara membuatku tersadar dari lamunan sore yang sudah menjadi kebiasaan bagiku. Aku tidak menolehkan wajahku padanya, aku terlalu malas untuk melakukan itu. Aku hanya ingin duduk di sini sambil mengamati langit yang perlahan mulai gelap, segelap hatiku.

"Eonni." Panggilnya lagi, namun kali ini dia menyentuh pundak kiriku. Entah sejak kapan dia berada di sebelahku. Aku menolehkan wajahku padanya dan memberi tatapan bertanya, "Sudah waktunya makan malam. Ayo kita makan," ucapnya seraya menunjukkan senyuman teduh yang membuat hatiku tergerak.

Aku mengangguk pelan, "Kau duluan saja, Lisa. Aku akan menyusulmu," titahku dan di beri anggukan olehnya. Lalu, dia melenggang pergi meninggalkan ruangan dingin ini.

Sejenak aku berpikir betapa senangnya menjadi Lalice. Gadis itu sangat dewasa di umurnya yang masih belia, dan dia pintar menyembunyikan sesuatu yang terjadi dalam dirinya. Misalnya, ketika dia bercerita kalau sebenarnya dia adalah sahabat dari seorang trainee JYP yang bernama Bambam atau apalah itu. Dia bercerita kepadaku sekitar .... satu tahun yang lalu. Awalnya, aku berpikir dia akan menangis tersedu-sedu mengingat persahabatannya yang erat dengan Bambam. Tapi, ternyata tidak. Dia selalu tersenyum saat bercerita, menunjukkan kalau dia selalu bahagia jika sahabatnya bahagia, dan itu membuatku terharu.

Aku bangkit dari tempatku dan berjalan gontai menuju lemari pakaian berwarna putih untuk mengambil jacket hitam kesayanganku.

"Eonni." Sebuah suara menginterupsi pergerakanku, sontak aku menoleh ke sumber suara, "Kenapa kauㅡ Ya!" Aku segera berlari kecil menghampirinya, dan mengambil alih piring-piring yang berada di tangan lentiknya, "Kenapa kau berani membawa makanan ke dalam kamar, huh? Bagaimana jika sajangnim tahu? Aish, kau bisa di hukum, Lisa." Ocehku sambil berjalan menuju kasur, kudengar dia hanya terkekeh kecil mendengar celotehanku.

Aku mengambil meja kecil, menaruhnya di atas kasur, lalu menaruh piring-piring di atas meja kecil tersebut, begitupun dengan Lisa yang sibuk menata piring setelah duduk di hadapanku.

"Kenapa kau membawa makanan ini?" tanyaku saat mengambil posisi duduk di hadapan Lisa, "Kalau sajangnim tahuㅡ"

"Dia akan marah. Aku tahu itu," dia menginterupsi ucapanku dan berhasil membuatku diam, "Aku tahu kau tidak akan menyusulku, jadi lebih baik aku bawa saja semua makanan ini untukmu," dia memasukkan beberapa kimchi ke dalam mulutnya dengan sumpit, "Aku sama sekali belum menyentuh makanan apapun, tahu? itu semua gara-gara kau." Lanjutnya sambil mengunyah, membuatnya terlihat lucu dengan pipi yang mengembung.

Aku terkekeh kecil melihat wajahnya yang terlihat sangat lucu saat mengunyah, "Ya, apakah kau selalu selucu ini saat sedang makan? pantas saja Bambam betah bersahabat denganmu."

Seketika raut wajahnya berubah, dan dia langsung meletakkan sumpitnya lalu menatapku dengan tajam. Dia bukan Lisa yang lucu lagi, dia berubah menjadi Lisa yang menyeramkan.

"K-Kau kenapa, Lisa? Apakah ucapanku salah?" tanyaku dengan hati-hati, karena aku takut membuatnya lebih marah lagi.

Dia tidak menjawab, melainkan menghela nafas lalu kembali melahap makanan yang ada di hadapannya. Begitu pun denganku, aku langsung melahap makanan yang ada di hadapanku dan tidak ingin berpikir lebih jauh dengan apa yang baru saja terjadi pada Lisa.

"Jangan pernah membahas Bambam lagi, itu membuatku muak." Ucapnya dengan lirih di sela-sela keheningan, sontak aku menatapnya dengan intens, "Apa yang terjadi pada kalian?" tanyaku pada Lisa yang sedang meminum air mineral yang ada di botol biru miliknya, lalu dia kembali menaruh botol itu di samping kanan dan menundukan kepalanya, "Tidak tahu. Aku hanya ... muak saja." Dia kembali mendongakan kepalanya, lalu tersenyum getir ke arahku.

Aku tahu bukan itu yang sebenarnya terjadi, pasti ada sesuatu yang besar terjadi di antara mereka. Aku tahu itu, tidak, aku yakin.

Aku menepuk pundaknya, lalu melemparkan senyum padanya, "It's okay. Aku tidak akan membahasnya lagi di hadapanmu sampai kau duluan yang memintaku untuk membahasnya," aku yakin dia butuh istirahat dari bayang-bayang pria itu untuk sesaat, karena itulah yang aku rasakan saat ini, aku butuh istirahat dari bayang-bayangnya, walaupun sejenak.

Dia mengangguk lalu membalas senyumanku.

"Ah, iya! Aku ingin membeli beberapa kaus kaki di toko pakaian dekat sini. Kau ingin ikut?" tanyaku dengan raut wajah yang ceria, alih-alih membuatnya terbawa ceria juga. Tapi, dia justru menggeleng dengan senyuman yang masih terukir di wajahnya, "Kau pergi sendiri saja, ya. Aku sedang tidak enak badan." Ucapnya dengan nada suara lemah.

Aku menatapnya dengan tatapan khawatir, "Kau sakit?" dia menggeleng lemah, "Aku hanya .. butuh istirahat?" entah aku salah atau tidak, tapi itu terdengar seperti pertanyaan.

***

"Jackson, kau sudah memesan Dasarang Chicken di dekat toko Waffle?" suara Mark yang memanggil nama Jackson terdengar sampai ke ruang utama, membuat beberapa member yang berada di sana terkekeh karena melihat Jackson yang tidak bergeming dari tempatnya.

"Jackson, kau tidak mendengarku?" Mark kembali bersuara, namun rupa-nya tidak terlihat.

"Jackson?" kini Mark keluar dari kamar dan memanggil nama Jackson yang sekarang sedang asyik dengan acara televisi kesayangannya, Running Man. Jackson masih mengabaikan panggilan Mark, justru sekarang pria dengan celana pendek berwarna hitam itu tertawa dengan keras setelah melihat adegan celana Kwangsoo sunbaenim yang di tarik oleh Jaesuk sunbaenim.

Mark menghela nafas setelah melihat reaksi dari Jackson, lalu dia berkacak pinggang, "Ya, Wang Jackson! Can you hear me?!" dia berteriak dengan bahasa inggrisnya yang sangat fasih. Mark memang seperti itu kalau sudah sangat kesal, dia akan lupa dengan bahasa korea dan beralih ke bahasa inggris.

"Hyung, kau berisik sekali." Tanggap Jackson dengan nada santai, dan tetap fokus pada televisi LED 32 inchi yang berada di hadapannya, membuat Mark menghela nafas, lagi, lalu dia menurunkan kedua tangan yang sebelumnya berada di pinggangnya, "Aku benar-benar menyerah dengan si bodoh ini." Ucapnya dengan nada datar, dan berhasil membuat member yang melihat itu tertawa.

Perlahan, dia berjalan menghampiri Jaebum, "Jaebum, kau tahu tempatnya, kan?" tanya Mark pada pria yang duduk di sofa panjang berwarna hitam, pria itu menggeleng lemah setelah Mark bertanya. Entah untuk terakhir kalinya atau tidak, Mark menghela nafas, "Kenapa semua teman-temanku tidak dapat di andalkan, sih." Gumamnya seraya mendongakan kepalanya ke atas, lalu menurunkan kembali kepalanya dan menatap Jaebum yang sedang terkekeh.

Mark merogoh kantung sebelah kanan celana pendek hitamnya, lalu menyodorkan kertas putih yang dilipat dua pada lelaki di hadapannya. Jaebum tidak langsung mengambil kertas itu, justru menatap hyung-nya dengan tatapan bertanya, "Untuk jaga-jaga. Siapa tau kau lupa di mana letaknya," terang Mark yang tahu apa isi pikiran adik-nya ini.

Jaebum mengangguk paham, lalu mengambil kertas itu dan membukanya. Sedetik setelah membaca itu, dia menatap kembali Mark yang sudah berjalan menuju kamarnya,

"Mapo-gu, Hapjeong-dong."

***

a/n : hello, gimana sama chapter ini? maaf ya kalau masih belum memuaskan, aku lagi gak ada ide soalnya, ini aja bikinnya asal-asalan wkwk.

jangan lupa leave your comment and vote my story. ♡

big thanks,

key.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 20, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

GOT7 Fancfiction : Black ( Jaebum )Where stories live. Discover now