Chapter 1

31 4 0
                                    

.
.
.

- Suara indah yang berasal dari salah satu alat musik yang paling banyak digemari oleh kebanyakan orang di dunia itu, terdengar di seluruh ruang yang berisi banyak bangku penonton, tapi sama sekali tak ada yang mengisi bangku penonton itu. Dua orang yang wajahnya begitu mirip, sedang menari-nari di atas panggung.

Perpaduan yang indah, suara piano yang indah dan dua orang penari yang cantik dan tampan. Tiba-tiba, salah satu pemain piano itu terheti, membuat semuanya menoleh ke anak lelaki yang sedang memainkan pianonya.

Wanita pemain piano itu cemberut, membuat wajahnya nampak imut disemua mata lelaki normal. "Lex! Kenapa lo berhenti?!" teriaknya marah.

Lelaki yang dipanggil Lex itu berdiri. "Gue capek Lexa, dari kemarin sampai sekarang, hanya lagu ini yang selalu kita ulang, ulang, dan ulangi terus. Bahkan, kelompok kita ini terlewat perfect Lexa," balasnya juga marah.

Penari tampan itu mendekat ke dua anak itu. "Alex, Alexa, kita udahan dulu ya mainnya. Besok lalu kita ganti lagu baru gimana?" tawar sang penari.

"Okey," jawab Alex dan menarik tangan Alexa pergi. "Gue duluan ya Reyhan, Rehana, gue lapar soalnya," sambungnya sebelum jauh dari mereka.

Reyhan dan Rehana hanya tersenyum memandang saudara kembar non-identik itu menjauh. "Rey, masuk kelas aja yuk," ajak Rehana. Reyhan setuju dan mereka berjalan bersama.

Saat mereka tiba di depan perpustakaan, salah seorang keluar. Pandangannya begitu sinis, mencela, dan angkuh. "Hay kembar siam," sapanya mencela.

Reyhan membalas tatapan itu. "Hay juga iblis berjalan, kita bukan kembar siam, tapi kembar identik ya Alvan," balasnya mengingatkan.

Alvan hanya tersenyum sinis mendengarnya. "Kira-kira, bulan ini, kelas siapa yang akan menang? Kalian sudah berusaha keras?" Ia lalu mendekati Reyhan dan Rehana.

Reyhan maju, membiarkan Rehana mundur. "Sudah." Tak lupa Reyhan menaikkan alis kirinya satu ketika ia yakin.

"Benarkah?" tanya Alvan hiperbola. Belum sempat Reyhan menjawab, Alvan sudah mendahului. "Aku tak peduli." Ia segera pergi meninggalkan Reyhan dan Rehana.

"Yak! Alvano! Alvano Algifari! Berhenti kau keparat!" teriak Rehana tak terima.

Reyhan segera mengelus punggung kembarannya itu. Rehana membalasnya dengan senyum kecut. "Sudahlah. Anak akademik emang kayak gitu 'kan?" ucap Reyhan dengan senyum. Membuat Rehana tertawa terbahak-bahak.

Tawa Rehana seketika terhenti, ketika melihat salah seorang wanita keluar dari perpustkaan. Wajah dingin, cantik, dan misterius itu, membuat siapa saja takut berada di dekat wanita itu, tak terkecuali dua orang teman kelompoknya.

"Hi Rey," sapanya dingin sambil menatap datar Reyhan.

Reyhan kikuk, bahkan lelakipun takut kepada wanita yang ada di depan si kembar ini. "Hi.. Li..s," balas Reyhan.

- Hari ini adalah hari yang membosankan buat aku pribadi. Dari awal datang ke sekolah, sampai sekarang jam 2:39, aku masih ada di sekolah yang terkutuk ini. Jangan bayangkan bahwa aku adalah anak nackal yang hobinya membolos dan tak pernah dengar apa yang guru katakan.

Aku adalah siswi baik-baik dengan prestasi yang menjulang. Dan untuk jam segini, aku akan putuskan untuk pulang lebih awal di asrama, dan belajar di lantai dasar asrama saja. Tapi, yang membuatku berhenti berjalan adalah, Rey. Avian Reyhan Parker. Salah satu dari sekian banyak lelaki yang pernah menyatakan cintanya untukku dan kutolak mentah-mentah dengan alasan dia adalah anak non-akademik.

Aku mendekat ke arahnya. "Hi Rey," sapaku sewajarnya.

Ya. Dia kikuk. Entah apa yang membuat semua orang kikuk ataupun takut ketika berbicara denganku. "Hi Li..s."

Aku menepuk bahunya. "Biasa aja dong Rey. Gue cu-" Perkataanku terpotong karena kembaran Reyhan, Rehana, menyentak tangaku dari bahu Reyhan dan menatapku tajam. "Lisia, gue kira kelas kita musuhan, ingat?" ucap Rehana mengingatkan. Lalu menyeret kembarannya itu pergi.

Aku hanya memandangi mereka. Apa mereka pikir gue pengen gitu temanan sama mereka berdua? Kagaklah deng! Aku cuma mau ngebuat rasa yang ada dihati Reyhan bertambah agar, ketika aku menyakiti hatinya lagi, ia makin sakit. Jahat'kan? Itulah aku, Lisian.

Aku berhenti di lantai dasar untuk belajar di ruang belajar yang disediakan. Sebenarnya, tak ada banyak anak yang ingin belajar di sini, belajar di sini rasanya berada di ruang hampa. Dari depan aja, ruangan ini sudah tidak mendukung, dan di dalamnya hanya ada meja dan kursi yang dikelilingnya. Tapi, yang membuat aku suka adalah, ini tempat yang sepi dan ber-AC, di kamar aku sendiri tak ada AC sama sekali dan ketika jendelanya tidak dibuka, kita akan berasa berada dipanggangan.

Sebelum masuk, aku sempatin beli kopi yang terletak di sebelahnya. Lumayan banyak orang, sehingga aku menyuruh pelayannya membawakanku ke sebelah. Lalu, aku tenggelam dengan buku-buku yang tebal yang penuh dengan rumus dan konsep. Sampai pelayan itu datang dan membayarnya, kemudian aku kembali tenggelam di laut yang sama.

Hidup ini amat sangat membosankan, jika kalian yang merasakan apa yang kujalani ini~ Lisian.

- Bajuku sudah basah, amat sangat basah. Dan aku menyuruh timku untuk berhenti bermain dulu. Kujatuhkan pantatku di salah satu bangku penonton, lalu aku membuka bajuku. Beberapa anak cewek meneriakiku, aku hanya memutar mataku melihatnya. Tanpa malu pun biasa ada yang ingin melap keringat yang ada didadaku, punggung, ataupun perut.

Kali ini mereka cepat pergi, dikarenakan Putra mengusir mereka semua secara terang-terangan. Walau sikap Putra seperti itu, masih banyak yang mendekatinya juga.

"Kenapa sih, lo kalau ada cewek yang dekatin kayak tadi, ngak lo usir? Lo juga ngak suka 'kan?" tanya Putra sambil memberikan handuk putih dan sebotol air mineral yang sudah ia buka.

Aku hanya meminum sambil menatap lurus ke depan, melihat beberapa siswa atau siswi yang berjalan. "Gue bukan lo, Put," balasku.

Lalu, aku melap keringat di wajah atau leherku. "Dan lagipula, itu anak akademik 'kan? Gue'kan pernah bilang sama lo Put, gue mau membuat seluruh anak cewek atau bahkan anak cowoknya jatuh dalam pesona gue. Sejak kita anak baru'kan misi gue kayak gitu," sambungku mengingatkan Putra pada setahun silam saat pertama kali aku dan Putra masuk sekolah ini.

Sekolah ini adalah satu-satunya sekolah SMA yang tidak melakukan MOS pada anak didik barunya. Dan sekolah ini juga adalah satu-satu sekolah SMA yang memisahkan kelas berdasarkan Akademik dengan Non-akademik, jadi anak non-akademik tidak perlu bersusah-susah berkutat dengan buku-buku yang super tebal dan pelajaran membosankan itu.

"Suka-suka hati lo deh, Cal." Putra lalu berjalan pergi tanpa memperdulikanku.

Hidup ini sangat menyenangkan jika kita melakukan hal yang kita senangi juga~ Calvin.
.
.
.

Salam hangat, Sitti Sumayya.
√20 Juni 2016

Akademik VS Non-AkademikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang