Hening.
Langit siang dari kejauhan sana tidak benar-benar memperlihatkan kehangatan bilamana perasaannya dengan kecerahan cuaca hari ini tak berelasi dengan baik. Ia, Skandar, tengah sibuk menuliskan beberapa jawaban dari soal di atas lembar jawabannya. Ya, hari ini ia harus berhadapan dengan serangkaian soal ulangan pecahan. Tak terlalu sulit baginya, mengingat ia yang begitu gemar bermain dengan rumus-rumus pecahan.
Hingga, pada dua puluh menit kemudian, ia berhasil menyelesaikan sepuluh soal pecahan. Ia pun mendesahkan nafas lega, lalu merapikan peralatan tulisnya ke dalam kotak pensil. Dengan percaya, ia berdiri dari kursi dan menuju meja guru untuk mengumpulkan ulangannya.
Hening.
Langit siang dari kejauhan sana tidak benar-benar memperlihatkan kehangatan bilamana perasaannya dengan kecerahan cuaca hari ini tak berelasi dengan baik. Ia, Skandar, tengah sibuk menuliskan beberapa jawaban dari soal di atas lembar jawabannya. Ya, hari ini ia harus berhadapan dengan serangkaian soal ulangan pecahan. Tak terlalu sulit baginya, mengingat ia yang begitu gemar bermain dengan rumus-rumus pecahan.
Hingga, pada dua puluh menit kemudian, ia berhasil menyelesaikan sepuluh soal pecahan. Ia pun mendesahkan nafas lega, lalu merapikan peralatan tulisnya ke dalam kotak pensil. Dengan percaya, ia berdiri dari kursi dan menuju meja guru untuk mengumpulkan ulangannya.
“Wah, kau sudah selesai, Skandar?” Sang guru tersenyum ramah sekaligus tak percaya. Skandar mengguratkan sebuah senyuman tipis di bibirnya lalu membalas, “Ya.”
Beberapa murid yang ada di kelas ini menatap Skandar dengan setengah kaget, untuk sementara, dihiraukanlah lembar soal yang masih menunggu untuk diselesaikan. Namun, sang guru menginstruksi agar murid-muridnya yang belum selesai kembali mengerjakan soal. Sementara Skandar, dipersilahkan dengan lembut untuk kembali ke tempat duduk. Dengan senang juga sedikit kesal akibat kejadian tadi pagi, Skandar duduk di atas kursinya dan menopang dagu.
Kedua manik kelamnya menangkap gambar demi gambar yang bergerak beraturan. Dilihatnya langit biru yang ditemani awan-awan putih serta sang mentari. Ia tentu cukup mempertanyakan banyak hal mengenai dirinya. Kembali ingatannya memutar skenario yang sama, seperti saat kejadian tadi pagi. Dimana rasa cemburu itu menggerogoti hati kecilnya. Kecerahan cuaca pada hari ini seakan tak berarti lagi baginya ketika ia mengingat dan menyadarinya.
Sehingga, tak sadar ia menunduk dengan wajah muram.
Amarah, iri, dan kesedihan bercampur aduk di dalam hatinya menjadi kesatuan dominasi yang membuatnya tersedak pada kenyataan. Tubuhnya kembali menegak lalu memutar bola mata ke arah jendela kelas yang menampilkan bagaimana bahagianya di luar sana. Kemudian, menatap apa saja yang terjadi di luar. Tangan kanannya menopang sisi kanan wajahnya sementara matanya menatap sendu ke luar—ke bawah, karna kelas yang ia tempati sekarang berada di lantai tiga—tepatnya, ke arah sebuah tenda karnaval yang digelar tak jauh dari gedung sekolah. Jendela-jendela kelas 2A yang tinggi seolah menjadi teropong cakrawala pemandangan London. Ia menyipitkan mata saat bias mentari menyorotkan sinarnya yang teramat terang.
Lalu, ia seakan masuk ke dalam dimensi lain yang tidak bisa dijangkau oleh orang lain dan menemukan dirinya digendong oleh ayahnya dengan wujud seorang bocah lelaki berusia dua tahun. Tak dapat dipungkiri bahwa ia bisa tersenyum di dimensi semu tersebut. Dapat tertawa senang secara lepas serta mendapatkan mainan yang ia mau. Ketika perhatian kedua orang tua sepenuhnya tertuju kepadanya. Ya, ia kembali berdiri di sebuah masa bertahun-tahun yang lalu. Tepat dimana dirinya masih berusia dua tahun. Belum ada kisah pilih kasih. Belum ada rasa cemburu. Belum ada bibir tertekuk ke bawah.
—belum ada Georgie.
Sinar warna-warni dari lampu-lampu karnaval. Tawaan. Boneka beruang. Permen kapas. Tenda warna-warni. Badut. Es krim rum. Senyuman. Orang-orang. Kebahagiaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate
FanfictionMungkin, selama ini, ia telah melakukan sesuatu yang meyakinkan Georgie bahwa semua yang dilakukannya berdasarkan rasa benci dan sakit hati. Namun, Skandar ‘tak bermaksud begitu, sebenarnya. Jauh di dalam relung hatinya, selalu ada tempat yang spesi...