Jocellyn sedang mencoba gaun muslin biru yang baru saja dibawakan Madam Betty untuknya ketika terdengar ketukan pintu dari balik kamarnya.
"Her Ladyship menginginkan Anda untuk segera menemuinya di ruang duduk, My Lady." Suara Darwin yang berat terdengar di balik pintu mahogany tua yang membingkai kamar tidur Jocellyn. Bangunan rumah ini memang unik dan memiliki nilai seni dan sejarah yang tinggi. Marlon McKenzie-Marquess Camden-dijuluki sebagai pecinta seni oleh ton. Itu karena kebanyakan furnitur dalam Camden House terbuat dari kayu mahogany atau kayu ek yang berusia ratusan tahun yang kokoh. Dan letak seninya adalah pada pahatan-pahatan dan ukiran-ukirannya yang sangat mendetail. Ayahnya-Howard McKenzie-lebih gila dibandingkan dengannya. Beruntunglah ia karena mendapat sebagian besar warisan peninggalan Howard itu. Salah satunya adalah pajangan dinding yang berwujud kepala banteng yang diletakkan di ruang baca. Itu merupakan kepala hewan asli yang diawetkan. Jocellyn terkadang takut jika melihatnya."Baiklah, Darwin. Katakan pada marchioness aku akan turun sebentar lagi."
Maggy mengancingkan gaun Jocellyn di punggungnya dengan tergesa-gesa. Ia menarik pita besar putih yang berada di perut majikannya itu-agak lebih ke atas-dan membuat simpul manis di belakang tubuhnya.
Jocellyn menuju cermin meja riasnya dan menyunggingkan senyum di wajah cantiknya. Matanya yang sewarna hazel melihat pantulan dirinya di cermin. Gaun biru itu terlihat anggun, dengan renda berwarna senada dengan pita yang melingkari perutnya. Maggy mengamati Jocellyn dari balik bahunya.
"Bagaimana menurutmu?" Jocellyn membalikkan tubuhnya, mengajukan pertanyaan dengan nada riang pada Maggy, pelayan pribadinya itu. Maggy menjawab tanpa keraguan sedikitpun, "Sangat cocok, My Lady." Ia masih muda, tak lebih dari dua puluh satu tahun, dan dia adalah gadis yang juga periang.
"Begitukah?" Nada suara Jocellyn tampak hanya untuk meyakinkan dirinya sendiri. Merasa lebih baik, pikirnya. "Aku akan turun menemui Mama. Magg, tolong rapikan ranjangku dan segeralah turun ke bawah."
"Baik, Miss."
Jocellyn menuruni tangga dengan sangat hati-hati. Pandangannya menyapu koridor saat ia menginjakkan kaki pada undakan terakhir. Darwin, si tua kepala pelayannya berdiri di depan pintu ruang duduk.
"Her Ladyship menunggu di dalam,My Lady." Darwin bersiap membukakan pintu untuk Jocellyn ketika gadis itu sudah berada tepat di hadapannya. Ia segera melangkahkan kakinya memasuki ruangan usai Darwin memberitahukan kehadirannya pada penghuni ruangan di dalam.Tampak marchioness mengenakan balutan gaun muslin hijau berkerah rendah dengan dihiasi renda-renda berwarna krem. Beliau sedang duduk sambil memegang secangkir teh di tangannya, bercakap dengan Madam Betty yang tiba di Camden House lima belas menit yang lalu. Tentunya obrolan tentang gaya busana terbaru Madam Betty, atau lebih parahnya lagi adalah gosip-gosip terkini para ton.
"Well," ia melongokkan kepalanya ke arah pintu ketika ekor matanya menangkap sosok Jocellyn yang berjalan memasuki ruangan, "kurasa kau tampak lebih menarik dari yang kubayangkan. Gaun itu terasa lebih hidup di kulitmu, Miss McKenzie."
Marchioness Camden berbalik mengikuti tatapan perancang gaun yang tadi berbincang dengannya. Matanya menjelajah Jocellyn dari ujung kepala hingga kaki.
"Oh, kau benar, Betty. Dia tampak menawan. Warna biru ternyata cocok sekali di kulitnya."Lady Agatha tak dapat menyembunyikan rasa senangnya. Ia berpaling lagi ke arah Madam Betty,"Berapa banyak yang kau bawa kali ini?"
Madam Betty mengambil tas besar yang ia letakkan di samping kakinya. Tangannya membuka risleting tas itu, mengambil sejumlah gaun dari dalam sana yang telah ia persiapkan dari tokonya pagi ini.
"Ada beberapa," ia mengeluarkan semua isinya, "yang ini adalah desain terbaruku." Ia menyodorkan sebuah gaun berwarna ungu pucat dari kain beludru. Kainnya sangat lembut dengan dihiasi renda hitam dan pernak-pernik mengilap. Lengannya menggembung kecil dan berkerah sedang. Gaun itu sederhana namun tampak cukup elegan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUTH
Historical FictionJocellyn McKenzie sedang menyiapkan diri untuk season pertamanya di Town. Di tengah kesibukannya menghadiri berbagai acara sosial, ia bertemu dengan seorang pria yang secara tidak sengaja ditemuinya di belakang gereja tua. Dan tiba-tiba pria asing i...