Maul P.O.V
Aku masih disini. Ya ditempat yang sama, masih dengan tujuan yang sama. Aku masih menunggumu, meski aku tahu, mustahil bagiku kau kembali.
Tanpa pernah aku sadari, aku sudah mengusirmu dengan kata-kata yang kasar, dan dengan bodohnya, aku membiarkanmu pergi begitu saja saat itu.
Mata dan telingaku merekam jelas semua kejadian 2 tahun yang lalu. Kini yang tersisa, hanya penyesalan, dan memori kelam.
Barkali-kali aku duduk termenung, di teras depan rumah 'kita'. Aku terus memandangi pagar besi tua itu. Berharap, ia bergerak terbuka, karena kedatanganmu.
Tapi hasilnya selalu nihil. Hanya awan mendung gelap yang datang.
Kilat yang mulai menyambar liar diatas sana, kali ini tak aku hiraukan. Aku sungguh merindukanmu. Aku rindu kau berada disisiku.
Tapi apalah daya seorang pecundang seperti ku untuk bisa membuatmu kembali?
Aku tak pernah tau, bahwa merindu sesakit ini. Tidak berdarah, tentu tidak, tapi sakitnya terasa menusuk sekali, sangat membunuh.
Meski begitu, aku terus menunggumu, tak peduli ragaku hancur karena menahan rindu untukmu. Aku akan tetap menunggu.
___________________________________________________________
Hujan kembali menemani soreku, tidak ada lagi kini sesosok manis, yang bertanya apa yang ingin ku minum.
Ah, tanpa bertanyapun kau sudah mengetahuinya.
Dengan gilanya, aku tak pernah peduli dengan semua perlakuanmu itu.
Tapi apa balasan mu?
Kau hanya tersenyum.
Yang aku sendiri baru tahu apa artinya senyuman itu.
Kau sudah menyimpan luka terlalu banyak,
Dan itu karena aku.
Aku kembali mengupat tidak jelas, bagaikan makhluk buas yang kelaparan.
Aku gila, aku bodoh,
Padahal sesungguhnya, kau tak pernah melakukan kesalahan.
Tidak! Aku tidak bisa menyalahkan sebotol minuman keras yang selalu aku beli tiap malam.
Tapi ini semua memang salahku,
Aku tak pernah bisa mencintaimu dengan tulus sejak dulu.
Lihat? Betapa hinanya aku ini,
Melukaimu tidak hanya fisik, tapi batin juga,
Kini biarkan langit mendung yang mendengar ceritaku,
"Hai langit! Kau tau sebuah kebohongan terbesar yang aku simpan?!"
Guntur menjawabku,
"Aku mencintainya!"
Satu per satu, tetesan hujan mulai turun,
Aku tahu, langit menangis untukmu,
Aku memang kejam, dan anehnya, aku baru menyadari itu.
Hujan semakin deras menerpa tubuhku, bersamaan dengan kencangnya badai angin kecil.
Aku terus mendongak, menatap langit yang masih menangis,
Aku memicingkan mataku, mencoba mencari celah terang diatas sana,
Dan hasilnya nihil,
Aku rasa, kau juga sudah sangat membenciku,
Sama seperti langit ini, dia tidak menunjukan celahnya sama sekali,
