Kalian tidak akan pernah tahu kemana takdir Allah akan membawa kalian. Kalian tidak bisa menduga-duga apa yang selanjutnya akan kalian lalui, kalian juga tidak bisa menerka-nerka bagaimana kalian kehidupan kalian kedepannya. Dan perkiraan kalian sangat sering kali meleset saat kalian telah mengira-ngira apa yang akan kalian jalani.
Kalian hanya mampu berencana, merencanakan banyak hal untuk hidup kalian. Tapi tetap, rencana itu bisa jadi tidak terwujud saat Allah tidak berkehendak. Allah memegang kendali atas hal apapun.
Seperti yang terjadi dengan dua orang hamba Allah ini, yang merencanakan sebuah hal yang mulia dan akan menjadikan mereka halal satu sama lain. Mereka sudah merencanakan semuanya dengan matang, hanya tinggal pelaksanaan. Mari kita lihat apa yang terjadi, dan kemana Allah akan membawa takdir mereka.
"Semua memang belum tentu berjalan seperti apa yang kita rencanakan," ucap seorang gadis yang tengah terbaring di atas ranjang. Wajahnya pucat, tapi sinar teduh di wajahnya tidak pudar meski sinar kehidupannya meredup. "Saya minta maaf, penantian kamu selama ini hanya harus berakhir seperti ini." lanjut Naira. Ia tersenyum tipis.
"Kamu terlalu cepat meminta maaf, Nai. Siapa tahu Allah memiliki rencana lain, kemungkinan untuk sembuh masih ada kalo kamu percaya." suara seorang pria yang menenangkan terdengar. Pria itu duduk di samping ranjang Naira, memandang gadis itu dengan sorot hangat kasih sayang.
Naira memalingkan wajahnya, "Saya gak mau membohongi diri saya sendiri dengan bilang, kalau saya percaya masih bisa sembuh. Padahal dalam hati saya, keyakinan semacam itu samasekali gak ada. Saya pasrah, saya ikhlas, Daffa." ucap Naira pelan, ia menangis. Siapapun pasti akan menangis 'kan saat tahu kalau hidup kalian divonis karena sebuah penyakit?
Naira merasakannya, bagaimana berjuang melawan penyakit selama 3 tahun kebelakang, dan sampai akhirnya saat ini ia merasa lelah.
"Sesungguhnya Allah Maha Berkehendak, Nai." Daffa berucap lirih. Ia menundukan kepalanya.
Kalau memang Allah berkehendak lain atas apa yang telah mereka berdua rencanakan, dia harus ikhlas. Siapa yang salah tetap ingin menunggu Naira meski gadis itu melarang? Daffa tahu semua konsekuensinya sejak awal, sejak ia menangani Naira dalam kemo terapi pertama gadis itu.
Ya, Daffa adalah dokter yang menangani Naira selama ini. Ia menangani Naira saat gadis itu menjalani kemo terapi untuk kanker otak, untuk pertama kalinya. Daffa yang mengamati setiap perkembangan penyakit Naira, kemunduran fisik dan kehidupan gadis itu pun dia yang mengawasi.
Siapa yang sangka kalau Allah menanamkan rasa cinta Daffa untuk Naira? Secara logika, kenapa ia malah jatuh cinta pada pasiennya yang menderita penyakit mematikan? Padahal, di luar sana banyak gadis sehat yang mau menjadi pendampingnya.
Naira menolak saat Daffa menyatakan perasaannya. Naira tidak ingin membiarkan Daffa hanya mengalami kekecewaan nantinya. Penyakit yang ia alami bukan penyakit ringan, penyakit yang ia alami adalah penyakit yang berjaminkan kematian.
Tapi akhirnya pertahanan Naira runtuh, ia menerima Daffa. Naira meminta Daffa untuk menunggu, menunggu sampai ia merasa siap untuk menikah. Karena saat itu, Naira adalah gadis berusia 17 tahun, sedangkan Daffa adalah dokter muda berusia 24 tahun.
Daffa menyanggupi, ia telah memikirkan apapun resikonya. Dalam masa penantian ia terus berdo'a agar Allah menghendaki, agar Allah memberi gadisnya kesembuhan. Daffa menerima semuanya dengan ikhlas, bahkan saat Naira tidak secantik saat pertama gadis itu datang. Ia tersenyum dan menguatkan Naira saat rambut gadis itu yang tertutup hijab mulai rontok.
Daffa melihatnya, semangat untuk sembuh yang terpancar dari Naira. Tapi siapa sangka, dua bulan lalu, saat Naira mengatakan siap untuk menikah, gadis itu sudah memasuki stadium akhir penyakitnya. Kanker otak pada Naira bekerja semakin cepat, membuat gadis itu patah semangat.
Tapi Daffa terus meyakinkannya, dan dengan bahagianya ia tetap menyusun segalanya untuk pernikahan mereka bersama Naira. Yang kalian tidak tahu adalah, Daffa menangis hampir di setiap malam dalam sujudnya. Ia takut tidak dapat ikhlas saat harus melepas Naira. Biar bagaimana pun, ia mencintai gadis itu lebih dari yang ia tunjukan.
Sampai akhirnya waktu itu tiba, kondisi Naira menurun drastis, ia segera dilarikan ke rumah sakit. Dia menjadi pasien yang sangat cantik dengan kebaya putih membalut tubuhnya. Karena saat Naira tumbang, Daffa baru saja menjabat tangan penghulu untuk mengikrarkan ijab qobul.
"Saya minta maaf, kamu terlalu lama nunggu. Seharusnya saya gak minta kamu nunggu, jadi kamu bisa mencari gadis lain." ucap Naira. Suara gadis itu terdengar semakin melemah. Daffa menautkan jemari tangannyu kuat-kuat di atas pangkuan.
"Penantian saya gak sia-sia, kamu bersedia saya nikahi. Dan lagi, saya tidak ada niatan untuk melihat gadis lain." ucap Daffa, ia tersenyum hangat. Inginnya, ia menyentuh gadis itu, memberi sebuah genggaman hangat gadis itu. Tapi Naira tidak pernah mengizinkan Daffa untuk menyentuhnya jika tidak dalam kepentingan pengobatan.
"Sebentar lagi penghulunya dateng." ujar Daffa saat Naira perlahan menutup matanya, ada teriakan antisipasi keras dalam diri Daffa.
Naira hanya tersenyum, menatap Daffa dengan tatapan teduhnya. Naira tidak menginginkan apapun di saat ia tahu, hampir tidak ada lagi waktunya untuk ia menunggu sampai keinginannya terkabul. Ia hanya meminta satu hal pada Allah, biarkan ia bertahan sampai Daffa selesai menucap ijab qobul atas dirinya.
Daffa memang memutuskan untuk tetap menjalankan pernikahan ini, ia memanggil penghulu ke rumah sakit. Naira masih mengenakan kebaya, begitu pula dengan Daffa yang masih mengenakan setelan jas rapi pernikahan.
"Daffa, penghulunya datang." ucap ibu dari Naira, wajah wanita itu begitu sembab, hidungnya memerah. Daffa mengangguk, menyuruh penghulu untuk masuk dan semua keluarga yang ada di sana untuk berkumpul di ruangan Naira.
"Saya terima nikah dan kawinnya, Naira Ziffana binti Nugraha dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai." Daffa berucap mantap. Saat semua mengatakan sah, yang terdengar di ruangan itu bukanlah suara isak tangis bahagia, melainkan suara isakan pilu.
"Alhamdulillah...." gumam Naira. Ia tersenyum, belum pernah ia sebahagia ini. Allah telah mengabulkan permintaannya.
"Nai, sayang..." suara Daffa tercekat, ia mendekatkan wajahnya pada Naira. Gadis itu masih tersenyum, membuat Daffa mengaguminya.
"Allah telah menjadikan kita halal satu samalain," Daffa kembali bicara, sekarang tangannya bebas menggenggam tangan Naira.
"Alhamdulillah...." lagi-lagi Naira menggumamkan rasa syukurnya. Dengan tangan gemetar, ia mencoba mendekatkan tangan Daffa pada bibirnya. Naira mencium tangan Daffa dengan takzim, membuat hati Daffa menghangat bahagia dan ngilu secara bersamaan.
"Maafkan saya, mas. Saya minta ikhlasnya." ucap Nira dengan tersendat, ia menatap Daffa cukup lama, lalu ia melirik pada satu per satu orang-orang yang berada di ruangan itu, ia tersenyum pada kedua orang tuanya dan kedua mertuanya.
"Saya ikhlas, sayang...." ucap Daffa akhirnya. Naira kembali menatap Daffa, perlahan matanya mulai menutup. Dengan sabar Daffa membisikan dua kalimat syahadat di telinga Naira, meskipun sulit, Naira tetap dapat mengucap dua kalimat sayahadat tersebut.
Isak tangis pecah seketika, menggaung dengan memilukan. Daffa meneteskan airmatanya, dalam hati meyakinkan bahwa ia telah ikhlas.
"Semoga Allah mempertemukan kita di akhirat nanti." bisik Daffa, ia mengecup lama kening Naira yang mendingin. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi pada gadis itu, ia terlelap dengan tenang. Tidak ada tarikan napas yang teratur, ia tidak butuh bernapas.
Sekarang, tidak ada lagi rasa sakit yang akan Naira rasakan. Allah telah mengangkat semua penderitaan gadis itu, Allah mengambil gadis itu lebih cepat.
Allah selalu tahu yang terbaik untuk hambaNya.
Apa kalian mengerti? Bahwa semuanya tidak harus sesuai dengan apa yang kita rencanakan, Allah mempunyai jalannya sendiri. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana Allah akan memutuskan takdir kita terhadap pasangan kita....
WaAllahu'alam bisowaf.