17, oktober 2016
Bak senja di penghujung hari, Aku ini rancu.
Bukan, maksud ku, bukan rancu itu nama ku. Atau nama ku yang terdengar rancu.
Aku Reno. Nama ku Reno.
Dan yang kumaksud rancu layak senja, adalah realisasi ku perihal perasaan ku pada seseorang.
Kadang biru, kadang ungu, kadang oranye. Lalu tak jarang membludak menjadi satu.
Kadang terang, dan kadang matahari sudah pulang duluan. Tersisa, awan langit yang rentan.
Rentan. Awan. Pulang. Kadang terang.
Itu kau.
Gadis dengan tinggi tak sampai melebihi pundak bungkuk ku, rambut hitam polos pendek sebahu, mata tajam warna coklat kelabu, bibir penuh memikat, pipi tembam menggemaskan.
Kamu, gadis itu. Kau Rentan.
Nama mu rentan.
Rentania alqila.
Jika aku bicara mengenai cinta, perihal semua kata indah penuh makna itu tak jauh dengan rancuan klise. Cinta itu klise.
Seharusnya semua orang sudah sadar mengenai ini. Layaknya baitan filosofis dan judul buku yang tak jauh - jauh ( pasti ) tentang kopi, teh, dan hujan. Cinta pun seklise itu.
Jatuh cinta, patah hati, perselingkuhan. kronologis nya tak jauh dari lingkup konflik yang disitu situ aja.
Namun seperti sewarjarnya manusia yang sedang di mabuk cinta. Diberi soal matematika; dua tambah dua pun pasti jawabannya; 'dia'.
Persetan dengan apa kata mereka.
Aku memang bodoh dan klise
Aku memang rancuAku. Rancu. Bodoh. Klise
Karena,
Aku memang terlaluTerlampau
Berlebihan
Jatuh cinta
Kepada mu.
Dengan cinta,
Reno
KAMU SEDANG MEMBACA
Nama mu, Rentan
RomanceJika aku bicara mengenai cinta, perihal semua kata indah penuh makna itu tak jauh dengan rancuan klise. Cinta itu klise. Seharusnya semua orang sudah sadar mengenai ini. Layaknya baitan filosofis dan judul buku yang tak jauh - jauh ( pasti ) tentan...