"Kamu ngapain di sini?" Tanya Nindi. Dari mukanya dan cara bicaranya Jani tau Nindi marah, walau Nindi terlihat berusaha menutupinya."Makan," jawab Tio jujur.
"Sama dia?" Tanya Nindi lagi, sambil menunjuk Jani.
"Iya," jawab Tio lagi.
"Kamu gak inget peringatan aku kemaren?" Tunggu, disini Jani bingung. Peringatan apa? Tio belum menceritakan itu pada Jani.
"Ya aku inget, maka karena itu aku kesini bareng Jani," kali ini nada bicara Tio naik satu oktaf.
"Aku gak ngerti lagi sama kamu yo," ujar Nindi.
Sungguh, rasanya Jani ingin pergi saja dari tempat ini. Jani merasa ia seperti biang masalah dalam hubungan Tio dan Nindi. tapi apa salah Jani? Dekat dengan Tio? Bahkan dari awal jadi tak mempunyai keinginan seperti ini. Kalau harus memilih Jani juga tak mau berada dalam posisinya sekarang. Harusnya dari awal Jani sadar, mecampuri urursan orang, memang tak akan pernah berujung baik.
Tapi tunggu, siapa yang berada di belakang Nindi? Itu Damar. Jadi Nindi datang bersama Damar? Kalau begitu kenapa Nindi harus marah? Jika ia juga datang bersama seorang lekaki lain.
"Kamu juga dateng sama diakan?" Tunjuk Tio pada Damar.
"Ya kondisinya beda, aku sama Damar cuma temen," kilah Nindi. Disisi lain Damar hanya diam melihat pertengkaran antara Nindi dan Tio, wajahnya tak menunjukam ekspresi marah ataupun khawatir.
"Ya emangnya aku sama Jani apa? Kita juga cuma temen." Mendengar itu, hati Jani rasanya mencelos. Tapi itu memang kenyataannya, ia dan Tio memang hanya teman. Dan mungkin tak akan pernah lebih.
"Temen? Kamu pikir aku percaya?" Ujar Nindi mulai menunjukan amarahnya.
"Terserah kamu lah," ujar Tio sambil menarik lengan Jani, keluar dari kedai mie ayam. Untung saja, di kedai tidak ada pelanggan lain selain mereka, jadi setidaknya pertengkaran ini tak akan menjadi semakin ruwet.
Tio menaiki motornya."Naek Jan," ucap Tio dengan Nada dingin.
Jani menaiki motor Tio dengan cepat, takut-takut kalau Jani lama, Tio akan bertambah marah.
Sepanjang perjalanan pulang, tak ada satupun kata yang terlontar baik dari Tio mau pun Jani. Mau bertanya pun Jani takut Tio masih marah, jadi Jani memilih untuk diam saja.
Tak terasa motor Tio sudah sampai di depan rumah Jani, lalu Jani turun dari motor Tio. "Makasih yah, dan maaf kalo gue jadi biang masalah antara elu sama Nindi." Tio tak membalasnya, ia langsung pergi dari hadapan Jani.
Jani masuk ke dalam rumahnya, dan langsung masuk kekamarnya.
Ah Jani bingung harus bagaimana, sungguh rasanya sangat tak nyaman dalam kondisi seperti ini. Menjadi benang merah dalam masalah orang? Bahkan Jani tidak pernah berkhayal tentang hal seperti ini.
Jani merebahkan tubuhnya di kasur dengan pikiran melayang entah kemana. Tanpa sadar, mata Jani sudah tertutup.
-ooo-
Jam setengah tujuh pagi Jani sudah sampai di kelas. Jani duduk di depan kelas dengan segelas teh hangat dalam Tupperwar yang di buatkan ibunya pagi tadi.
Pikiran Jani menerawang pada kejadian kemarin sore. Jani bingung tindakan apa yang harus ia ambil dalam poisisinya sekarang? Apakah ia harus menjauh atau bagaimana?
"Hoy!" Jani tersentak, Ternyata Tio. Ia datang di waktu yang tidak pas.
Jani manaikan satu alisnya, "apa?"
"Maaf ya buat kejadian kemaren sore." Jani kira kamarin Tio marah pada Jani. Tapi sepertinya tidak, melihat sikap Tio sekarang.
"Bukan salah lu kok, nggak ada yang salah."
"Tapi tetep aja gue merasa berasalah, ngeliat lu di tuduh-tuduh sama Nindi. Padahalkan kita cuma temen."
Iya yo gue juga tau, kitakan cuma temen.
"Nggak apa-apa yo, wajar kok Nindi gitu. Tandanya dia sayang elu," jawab Jani sembari tersenyum.
"Bener nih?" Jani mengangguk.
"Yaampun temen gue baik banget sih." Kata Tio sambil mencubit pipi Jani. Please Tio jangan buat Jani melampaui batas, dan berharap pada sesuatu yang tak seharusnya tak boleh menjadi harapan Jani.
Sebuah hentakan kaki menyadarkan obrolan meraka berdua. Di ujung lorong terlihat Nindi dengan tatapan marahnya, memandang Jani dan Tio. Nindi berlari berbalik arah, dia menangis.
"Gue harus apa Jan?" tanya Tio dengan muka cemas.
"Sana kejar Nindi yo, dia kayaknya nangis," kata Jani sambil mendorong bahu Tio, pertanda bahwa Tio harus cepat-cepat mengejarnya.
Tanpa bicara lagi Tio pergi berlari mengejar Nindi, menyisakan Jani dengan segelas teh hangatnya.
-ooo-
Ini pendek banget ya? Kan sesuai yang aku bilang di awal hehe. Aku sendiri kasian Janinya ih T.T
Kalo suka vote ya, kalau ada kesalahan ingetin aku ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CURHAT
Teen FictionJani itu seorang gadis biasa. Ia hanya seorang remaja tujuh belas tahun, yang menyukai Kucing, dia juga seorang bukan anak yang jenius, apalagi seorang gadis yang digilai lelaki karena kecantikannya. Tapi hidupnya yang biasa ini, berubah saat sebua...