Bagian 7 : Selangkah Pergi

8 0 1
                                    

"Serius?" itu adalah reaksi pertama Alifa ketika mendengar pengakuan Reisa.

Reisa hanya mengangguk pelan dan terlihat malu-malu. Alifa langsung bertanya,

"Jadi siapa yang duluan?"

"S-sudahlah, Alifa!"

Tampak Reisa tidak nyaman dengan rasa ingin tahu Alifa. Reisa menutupi wajahnya dengan bantal.

"Sepertinya... aku," jawab Meisje pelan.

Meski demikian, jawaban itu langsung didengar Alifa dan tampak Alifa tertawa. Reisa makin membenamkan wajahnya karena malu.

"Tapi syukurlah," ucap Alifa, "sekarang kamu sudah tidak sendirian lagi kan?" sambung Alifa.

"Apa yang kamu katakan? Aku tidak pernah sendirian, kamu selalu ada ketika aku butuh," sebut Reisa.

Alifa sedikit terkejut namun langsung tersenyum. Mereka berdua tampak mengobrol banyak hal setelahnya.

***

Sekarang aku berdiri di depan sebuah restoran yang benar-benar tidak ada pengunjung sama sekali kecuali aku dan orang yang sudah menelponku. Beberapa orang pelayan tampak sudah menunggu.

"Silakan Pak, lewat sini."

Aku segera diantarkan menuju lantai dua dan klien yang menelponku tadi tampak sudah menunggu. Terlihat ada orang lain di sana dan mereka berdua tampak menikmati pembicaraan mereka. Melihatku, klienku itu tampak berdiri dan berkata,

"Selamat datang, Nak Dika. Silakan duduk!" ucapnya bersemangat.

Segera saja aku duduk di kursi yang sudah disediakan. Sebenarnya aku datang kemari karena adanya "kepentingan bisnis" meskipun belum tahu rinciannya.

"Perkenalkan Pak Agung, dia ini Dika Satria yang sering mengungkap seputar manipulasi pembukuan perusahaan."

"Ah ya, saya sudah baca berbagai berkasnya. Tidak diragukan lagi kemampuannya dalam mendeduksi suatu perkata," jawabnya.

"Terima kasih," ucapku.

"Jadi mau pesan apa?" terlihat klienku menawarkan.

Terlihat klienku tidak terlalu terbuka denganku. Biasanya mereka memperkenalkan diri padaku tapi kali ini aku benar-benar tidak tahu siapa orang ini sebenarnya. Pak Agung yang duduk di sebelahku terlihat melihat ke arah menu sedangkan aku sendiri tidak berminat untuk makan siang di sini.

"Saya tidak usah," ucapku, "bisa jelaskan apa maksud Anda mengundang saya kemari?" lanjutku.

Dia mengangguk dan segera memberikan aba-aba pada salah satu pelayan yang ada di restoran itu. Tak lama kemudian pelayan itu kembali dengan sebuah koper yang dibuka di samping kami. Aku benar-benar terkejut melihat uang yang ada di dalam koper itu. Tumpukan uang dengan nominal terbesar, saling bertumpukkan satu sama lain. Memang, aku sering melihat angka yang luar biasa besar di laporan keuangan tapi ini kali pertama aku lihat uang asli sebanyak ini.

Saat itu juga, aku merasakan firasat dan niat yang tidak baik.

"Jadi kalau memang begitu, langsung saja. Saya ingin Nak Dika memberikan keterangan saksi ahli yang meringankan kami. Tentu, ada bayarannya. Juga, kami ingin memberikan sedikit 'hadiah' untuk Pak Agung. Kami harap di persidangan nanti, ada keringanan untuk putasan kasus kami."

Sekarang aku benar-benar terjebak dalam masalah yang serius.

"Saya menolak tawaran ini. Kemampuan saya bukan untuk hal seperti ini!" ucapku sambil berdiri dan berjalan ke arah tangga.

Liefde, Vriend, en VerledenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang