1. Rhapsody in Blue

8.4K 608 53
                                    

Lelaki itu duduk tenang di antara para penonton pagelaran Cantabile yang sudah lebih dulu memenuhi Balai Sarbini, Jakarta. Rasa lelah selepas melakukan operasi terhadap korban kecelakaan di rumah sakit tadi tak menyurutkan niatnya untuk tetap hadir. Baginya hiburan adalah hanyut dalam alunan Beethoven, Chopin, Gershwin, atau instrumental lain yang untuk orang lain bisa jadi membuat mengantuk karena membosankan.

Montagues dan Capulet menjadi pembuka konser yang mempertemukan pianist berbagai usia ini. Addie MS selaku konduktor sekaligus penggagas Twilite Orchestra memberi tanda kepada rekan-rekannya. Balai Sarbini seketika kental dengan suasana klasik. Sesuatu yang telah akrab dengan telinga Richter Aliandra sejak kecil. Hingga usianya menginjak dua puluh delapan tahun, selera musik warisan sang Mama tidak pernah memudar. Selera yang turut membentuk pribadi penuh ambisi dalam balutan tenang namun kukuh.

Kepribadian yang kadang membuatnya lebih mirip atasan dan staff daripada sepasang kekasih dengan Claudia, desainer muda Indonesia. Ah ... mengenang Caludia menyeruakkan jengkel kembali di hati Ali. Perempuan itu lebih candu menyambangi berbagai negara untuk memamerkan rancangannya daripada sekadar menemani Ali mendengarkan musik yang bagi Claudia tak jauh berbeda dari ninabobo, membuat mengantuk.

Mereka berbeda dunia, tak sepaham soal selera, namun mampu bertahan selama tiga tahun sebagai pasangan kekasih. Status yang sepertinya tidak ingin ditingkatkan oleh Claudia, meski sesekali Ali memancing pembicaraan ke arah sana.

Dibanding bermesraan dengan Claudia, Ali lebih sering menyentuh Grand Piano di rumah orangtuanya. Walau sebenarnya ia lebih senang mendengarkan daripada memainkan. Itu sebabnya ketika Claudia menghadiahinya tiket pagelaran, Ali berpikir perempuan ini sedikit melunak terhadap seleranya. Sekaligus menawar sebagian rasa jengkel Ali.

Dari Montagues dan Capulet instrumen berganti menjadi Etude nomer empat karya Chopin. Telinga Ali peka sekali. Ia memandang khidmat pianist Gita Bayuratri yang sedang bermain di panggung sana. Terlena dalam alunan permainan Gita Bayuratri membuat Ali seolah lupa pada rasa lelahnya.

"Concerto Piano nomer dua," gumam Ali saat Levi Gunardi seakan membawa Rachmaninov ke dalam Balai Sarbini.

"Akhirnya, Gershwin!" pekik Ali ketika Rhapsody in Blue mengalun memenuhi rongga telinganya. Namun, pada detik berikutnya ekspresi sumringah Ali berganti kening yang mengernyit. Ia tidak mengenali pianist perempuan yang sedang menarikan jemari di atas panggung itu. Wajah itu asing. Meski begitu ia tetap berdiri sembari bertepuk tangan saat sang pianist dihantar turun panggung oleh Addie MS usai menyelesaikan permainannya.

Hingga pentas berakhir dengan penampilan Audrey Sarasvathi yang membawakan Danse Russe milik Stravinsky, angan Ali justru masih melayang pada pianist yang tak dikenalinya tadi. Bahkan Rhapsody in Blue terasa terngiang-ngiang menyingkirkan instrumen lainnya.

"Dokter Rich!" tepukan seseorang di bahunya menghentikan langkah Ali yang hendak keluar bersama seribu lebih orang lain yang juga menonton pagelaran.

Ali berpaling. Dia tersenyum membalas sapa salah satu mantan pasiennya itu.

"Vertigomu gimana?"

"Mulai jarang muncul, Dok." sahutnya santai. "Dokter Rich senang musik klasik juga?"

Ali mengangguk membenarkan.

"Suka gubahan siapa saja, Dok?" tanya mantan pasiennya itu sambil berjalan menuju sudut panggung setelah Ali menyetujui untuk dikenalkan dengan seseorang.

"Beethoven, Chopin, tapi saya paling suka Gershwin."

"Rhapsody in Blue ya?"

"Salah satunya." jawab Ali.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The PianistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang