1. Kencan tak terduga

208 20 3
                                    

"El, nonton yuk ntar malem." Ajak Ricco sambil merangkulnya dari samping. Eliz terlonjak kaget saat tiba-tiba ada orang yang merangkulnya.

"Kan gue udah bilang, jangan panggil gue El. Terserah lo mau panggil Liz, Za, Beth, yang penting jangan El." Jelas Eliz sambil melepaskan tangan Ricco dari pundaknya.

"Gausah ngerangkul-rangkul gue. Risih tau diliatin."

"Loh, kenapa? Emang biasanya lo jadi pusat perhatian, kan? Dari SMA kan selalu begitu." Ujar Ricco.

"Dan lo curi-curi kesempatan, kan? Bilang aja pengen ikut tenar gara-gara deketin cewek cantik calon dokter. Ngaku." Todong Eliz dengan pisau bedahnya. Ricco terlonjak kaget menjauhi Eliz.

"Bahaya banget sih lo bawa-bawa piso kayak gitu. Kayak copet tauga. Simpen buruan!" Perintah Ricco.

"Hayo hayo hayo, pengen gue sunat lo hah? Jangan macem-macem sama gue." Ujar Eliz sambil meledek Ricco sambil menyodorkan pisau kearahnya.

"Eliz! Simpen nggak!" Perintah Ricco. Eliz masih saja meledeknya.

"Jagoan kok takut sama pisau bedah. Ini tumpul tau, nggak tajem." Kata Eliz sambil memainkan ujung pisau itu ke lidahnya.

"Eh, enak aja. Gue nggak takut." Kata Ricco gengsi sambil mencoba mendekat pada Eliz, secepat kilat tangannya merebut pisau yang ujungnya tumpul itu.

"Aw! Sialan!" Pekik Ricco sambil melempar pisau itu ke jalanan. Ia membuka telapak tangannya. Pisau itu membelah tangannya dari ujung hingga ujung mengikuti lekukan tangannya.

Eliz segera mengambil pisaunya dari jalanan. Ia melihat darah di pisau itu, sama seperti tadi saat ia membedah mayat bersama teman satu teamnya.

"Kok lo bloon, sih? Ngapain segala aneh-aneh kayak barusan. Lo fikir ini nggak tajem? Tangan lo bisa buntung kalo gue belah pake ini alat." Cerocos Eliz sambil memegangi tangan kanan Ricco yang berlumuran darah.

Eliz melepas bandana di kepalanya. Ia melilitkannya pada tangan Ricco, kemudian menyuruh Ricco mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Sini ikut gue." Ajaknya sambil menggenggam tangan kiri Ricco dan mengajaknya ke suatu tempat. Seluruh pandangan tertuju pada mereka berdua.

Disinilah mereka, di ruang UKS terdekat yang ada di fakultas Ekonomi.

"Pelan-pelan, El! Sakit tau!" Protes Ricco sambil meringis. Keningnya selalu mengkerut dan alisnya menajam setiap ia protes pada Eliz.

"Gue ngerti, Co. Tahan napa. Ini juga gue udah pelan-pelan." Sahut Eliz sambil terus fokus pada luka Ricco.

"Lebih pelan lagi, El!" Perintah Ricco kemudian menggigit bibirnya.

"Jangan bawel dan jangan panggil gue El!" Sahut Eliz sambil menatap Ricco tajam. Wajah mereka hanya berjarak 15 cm dan hal itu membuat Eliz bisa melihat iris di bola mata Ricco.

Eliz mengencangkan ikatan perban di tangan Ricco dengan kasar. Matanya masih menatap Ricco tajam. Ricco masih menatapnya balik tanpa berkedip. Matanya agak menyipit saat Eliz memperlakukannya dengan kasar.

"Lo yang selalu bikin masalah dan gue yang harus terus-terusan tanggung jawab seolah gue yang buat salah. Bisa nggak sih nggak usah aneh-aneh kalo di deket gue? Lo tuh nyusahin tauga!" Ujar Eliz dengan giginya yang ia rapatkan. Suaranya pelan, hanya terdengar oleh Ricco yang kini sudah berjarak lebih dekat lagi darinya.

"Gue nggak butuh lo, cewek tengil!" Sahut Ricco dengan rahangnya yang mengeras. Kemudian ia berjalan meninggalkan Eliz tanpa tedeng-aling-aling.

"Dasar cowok gatau diri. Kalo gue lempar nih piso juga nancep di punggung lo yang bertatto itu!" Gumam Eliz geram sambil menggenggam pisau bedahnya. Matanya terus memperhatikan Ricco yang berjalan keluar ruang UKS meninggalkannya.

PHPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang