Chapter 2

4 0 1
                                    

Kegundahan hati dan penyesalan telah menghantui pikiran Dinda. Tekanan batin berkepanjangan membuat wanita muda ini menginap di Rumah Sakit Jiwa. Hidup tak berarti, guncangan telah menghantar Dinda pada kondisi buruk. Sering berteriak menyebut nama Efan. Keluarga sudah kewalahan dengan perubahan Dinda. Pasrah menyerahkan segalanya pada yang maha kuasa.
Suami Dinda tidak menyayanginya, setelah tahu Dinda tak sadar, dia pun menceraikan Dinda.
*
Setahun kemudian, Dinda mengalami kesembuhan. Terapi, obat dan kasih sayang keluarga sangat membantu. Dinda kini kurus kering. Matanya kosong, kehampaan hidup masih dia rasakan. Yudhistira hadir, lelaki bersahaja menginginkan Dinda menjadi permaisurinya. Pernikahan digelar sederhana.
*
Masa berganti, tapi kenangan tentang Efan masih terpatri indah di relung hati. Rumah tangga bersama Yudhistira terasa hampa.

"Ini foto siapa, Dinda?"

"Teman, Mas." Dinda tersentak seketika.

"Bohong!" Yudistira membanting foto itu.

"Itu cuma cerita masa lalu." Dinda berusaha menjelaskan.

"Katanya tadi teman, sekarang cerita masa lalu!"

"Mas, maafkan aku. Dia sudah meninggal."

"Berani kamu ya berselingkuh. Perempuan payah!" ujar Yudhistira sambil menutup pintu dengan keras. Sepeda motor telah membawa raga itu bersama cemburu.
*
Seminggu sudah Yudhistira pergi dari rumah. Batin Dinda dilema. Melepaskan mahligai rumah tangga atau masa lalunya. Bayangan Efan kembali menghantui pikiran. Tak ingin melepas begitu saja, kenangan teramat manis dalam hidup.

"Mami, kapan Papi pulang? Kok, beli permennya lama banget." tanya putri pada Dinda. Perasaan bersalah menyelimuti hatinya. Gadis kecil ini, tak mengerti apa-apa.

"Nanti ya, kita telepon Papanya."

"Boleh, tidak Mami bilang sama papa, Putri mau boneka juga."

"Tentu boleh, sayang." ucap Dinda sambil merangkul putri semata wayangnya.

Dering telepon mengagetkan lena, Dinda. Diangkatnya perlahan.

"Halo!" Suara Dinda lirih menahan rasa kantuknya. Tak ada suara, hanya gemuruh suara kendaraan. Senyap ... beberapa menit kemudian telepon itu ditutup seseorang.
*
Sang Imam datang perlahan. Wajahnya kelihatan sudah tenang. Setelah mengucap salam. Duduk manis di samping Dinda.

"Maafkan Mas, Dinda sayang. Emosi telah menguasai pikiranku. Semuanya sudah dijelaskan oleh abangmu. Mas, mengerti semuanya." Yudhistira menjelaskan dengan nada gemetar. Kedua pasangan itu berpelukan dengan mesranya.

"Dinda, sudah memaafkan Mas Yudhistira dari kemarin-kemarin. Maafin Dinda juga, sudah menyakiti hatimu."

"Ok, tapi satu pintaku, mas tidak ingin ada nama lelaki lain selain namaku," ucap Yudhistira lirih. Pandangan mata keduanya berpadu.

"Iya, Masku sayang." Seulas senyuman mewarnai hati mereka.

"Papi ... sudah pulang ... asyik." Putri yang sedang tertidur, sudah bangun dan menghambur pada Yudhistira dengan penuh rasa rindu.

"Iya, sayang. Papi bawa permen sama boneka, buat putri papi yang cantik."

Alam seperti ikut bahagia menyaksikan indahnya mahligai rumah tangga.
Dua minggu kemudian Yudhistira mengajak Dinda ke kuburan Efan. Pengajian pun digelar dalam rangka kirim doa.
Dinda menyimpan kenangan tentang Efan, dalam kado kotak yang manis berpita hati dan menyimpannya di lemari jiwa terkunci rapat. Dan hanya Dindalah yang mampu membukanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SENJA TERAKHIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang