[ h u k u m ]
"Aku kadang bingung sama hukum di Indonesia," tutur Chrisya kepada lelaki di depannya. Juan-yang sedang diajak bicara-meneguk kopi hitam favoritnya sambil mengangguk."Hmm," gumam Juan, mengisyaratkan Chrisya untuk melanjutkan cerita.
"Tadi pagi aku buka instagram. Nah si Alfa posting tentang guru yang disidang. Duhhhhh ... aku jadi kesel. Kamu tahu beritanya nggak?" Chrisya bercerita dengan semangat yang meletup-letup. Ada penekanan dalam setiap kalimatnya. Mata coklat gelapnya menegaskan beberapa emosi dan perasaan kesal yang paling mendominasi. Tangannya dinaik-turunkan sesuai dengan cerita yang terlontar dari bibirnya yang tipis.
Sebagai jawaban, Juan hanya menggeleng. Tangannya menopang dagu, tampak serius mendengarkan Chrisya.
Gadis dengan poni lurus menutup dahi itu menghirup napas dalam-dalam dan mulai melanjutkan, "Jadi aku baca di instagram tadi pagi. Ada satu guru di SMP Sidoarjo, namanya Sambudi atau Samhudi, ya? Nggak tau. Nah itu, gurunya dituntut dengan alasan penganiayaan. Inisial siswanya R. Dia bilang ke bapaknya yang tentara AD. Akhirnya orang tua R menuntut Pak Sambudi atau Samhudi itu." Chrisya berhenti sejenak, sekadar menarik napas lagi untuk mengisi rongga dadanya.
"Kamu tahu nggak penganiayaan yang dimaksud?" tanya Chirsya, retorik. Lelaki yang ditanya menggelangkan kepala pelan sebagai jawaban. "Gara-gara dicubit. DICUBIT, Juan. Cuma dicubit doang. Astagaaa!" pekik Chrisya. Telapak tangan kanannya menepuk dahi, dramatis.
"Padahal yaaaaa ... Pak Sambudi atau Samhudi bilang kalo dia negurnya cuma nepuk pundak si R. Itu juga gara-gara R nggak ikut salat Dhuha berjamaah di sekolah. Bentar, bentar. Aku cari postingan di instagram dulu, ya!" Dengan semangat yang menggebu-gebu, Chrisya merogoh saku seragam putih abu-abunya. Gestur jempolnya mengetik, lalu menggeser, mengetik lagi dan menggeser.
"Nah!" tukasnya girang. "Liat deh. Mana si R juga perokok." Gadis itu menunjuk foto yang Ia temukan di instagram. "Aku bacain, ya. Samhudi, 46 tahun, guru SMP di Sidoarjo ini dipolisikan atas kejadian pencubitan kepada siswanya karena siswanya tak mengindahkan peraturan sekolah untuk melaksanakan salat Dhuha berjamaah ...."
Juan yang masih mengunci tatapannya pada Chrisya mengulum senyum simpul. Lelaki berkacamata itu selalu suka cara Chrisya bercerita. Jika berkedip bukan suatu aktivitas untuk menjaga bola mata tetap lembab, mungkin Juan tidak akan berkedip dan tetap memandang gadis berseragam putih abu-abu di depannya itu.
"... nah gitu. Eh, ini ada lagi! Orang tua yang tidak mau anaknya ditegur guru di sekolah, silahkan didik sendiri, bikin rapor dan ijazah sendiri." Chrisya terkekeh setelahnya. Tawa gadis itu menular dan membuat Juan ikut tertawa.
Suasana cafe tempat mereka makan cukup lengang. Hanya ada beberapa orang di lantai dua cafe tersebut. Meja-meja yang ditata berjauhan juga bermaksud untuk menciptakan privasi kepada pelanggan-pelanggan yang datang.
Tawa yang tadinya berderai sudah diisi lagi dengan obrolan ringan. "Hukum Indonesia makin lama makin bobrok, ya," komentar Juan.
"Nggak cuma hukum, sih. Mental orang-orangnya juga. Mental tempe."
Juan menatap lurus ke arah Chrisya. "Kamu mental apa?"
"Bebek goreng," jawab gadis itu, cepat tapi asal-asalan.
Juan tertawa renyah menanggapi. "Tempe juga enak loh."
"Iya. Aku suka tempe goreng buatan mama kamu." Chrisya tersenyum manis madu. "Suka ketawamu juga," lanjutnya. Otomatis tawa renyah Juan berubah menjadi tawa yang meledak mendengar rayuan Chrisya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HUKUM
Short Story[1/1] Sebuah cafe menjadi tempat diskusi ringan antara seorang gadis yang dibalut seragam putih abu-abu bersama kekasihnya, seorang mahasiswa. Berawal dari posting teman sang gadis yang membuatnya ingin membahas topik itu bersama si pendengar setia...