"Kak, aku juga mau main layangan!" rengek gadis kecil berusia lima tahun.
Yang diajak bicara, bukannya menuruti keinginan gadis itu, ia justru asyik menarik ulur benang layangan.
"Kak!" Kini, tangan gadis itu menarik kaos merah yang dikenakan oleh anak laki-laki yang sedang memegang benang layangan.
Anak laki-laki itu berdecak, "Nanti kalau kamu yang main, layangannya langsung jatuh. Susah tahu, nerbanginnya!" omel anak laki-laki yang usianya terpaut tiga tahun dari gadis kecil itu.
Gadis kecil itu pasrah. Ternyata rengekannya tidak bisa meluluhkan hati anak laki-laki yang sedang berdiri di sebelahnya. Percuma.
Angin bertiup kencang, menerbangkan rambut sebahu milik gadis itu. Membuat layangan merah yang sejak tadi dimainkan oleh anak laki-laki itu terbang tinggi sekaligus membuat layangan itu terpisah dari benangnya.
Reflek, anak lelaki itu langsung mengejar layangan merah yang baru saja putus.
Gadis kecil itu ikut berlari, "Kak Rey, tungguin!""Udah kamu di situ aja!" perintah Rey. Tapi percuma. Bukan Rain namanya jika ia langsung menuruti perintah Rey. Ya, gadis kecil itu bernama Rain.
Rain masih berusaha mengejar Rey. Tapi, sebuah batu membuatnya terjatuh. Memberikan sebuah luka pada lutut gadis kecil itu. Dan yah, dia menangis. Wajar saja bukan, seorang gadis berumur enam tahun menangis karena terjatuh?
"Kak Rey..." panggil gadis itu di sela-sela tangisnya.
Yang dipanggil langsung berbalik arah. Pikiran soal mendapatkan layangan merah itu sebelum orang lain mendapatnya hilang sudah. Ia lebih khawatir dengan Rain daripada dengan layangan merah itu.
"Dibilangin ngeyel, sih." Omel Rey. Yang langsung disambut dengan suara tangisan Rain.
"Udah, nggak usah nangis." Rey mengusap-usap kepala gadis kecil itu. Bukannya berhenti menangis, tangis gadis itu justru semakin kencang.
Rey menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimanapun caranya, Rey harus menghentikan tangisan gadis kecil ini. Jika tidak, orang tuanya pasti akan mengamuk.
Ah, kenapa tadi aku menginjinkannya ikut sih?
"Kamu mau es krim?"Rey yakin gadis kecil ini akan mengangguk. Oh ayolah, mana mungkin ada seorang anak kecil yang tidak suka es krim.
Gadis kecil itu menggeleng. Dan tangisnya masih belum berhenti.
"Kamu mau kue?"
Gadis kecil itu menggeleng lagi.
Anak kecil ini maunya apa sih?
"Kamu mau permen?"
Gadis kecil itu menggeleng lagi.
Rey benar-benar tidak habis pikir. Es krim tidak mau. Kue? Tidak mau juga. Permen? Tidak juga. Aneh. Di mana-mana, anak kecil pasti langsung kegirangan jika diberi salah satu dari ketiga makanan tersebut.
Anak ini benar-benar mengerjainya.
Padahal, ia baru saja mengenalnya. Eh, lebih tepatnya baru seminggu ia mengenal anak itu. Dan ini adalah kali pertama anak kecil itu ingin bermain dengannya."Pulang, yuk."
Gadis kecil itu menggeleng.
Terpaksa, Rey menggendong gadis kecil itu. Ia membiarkan Rain merangkulkan kedua tangannya ke leher Rey. Ia membiarkan Rain menyenderkan kepalanya pada pundak Rey. Dan sungguh, itu membuat kuping Rey terasa sakit karena Rain masih belum berhenti menangis.
Lama kelamaan, suara tangis Rain semakin pelan dan berangsur-angsur menghilang. Rey tersenyum lega karena berhasil memulangkan anak itu dengan selamat-eh tunggu, dia tadi terluka tidak, ya?
Rey belum pernah mengurus anak kecil, jadi wajar saja dia tidak langsung mengecek apakah Rain terluka atau tidak. Yang ada di pikirannya hanyalah membuat gadis kecil itu berhenti menangis.
Dasar bodoh.
***
Punggung tangan Rain mengusap bulir bening yang mengalir membasahi pipi. Ia kemudian meletakkan lagi bingkai foto yang sejak tadi dipegangnya.
"Gue kangen, Rey."gumam Rain lirih.