Ambil Rapot

363 10 1
                                    


Waktu seakan berjalan dengan sungguh cepat, kini saatnya pembagian hasil belajar siswa.

Kebetulan, aku dan kak Dara berbeda kelas dan sekolah.

Kalau aku masih berada dikelas satu SMA, sedangkan ia sudah berada dikelas dua.

Semua terjadi karena aku pernah tak naik kelas sewaktu disekolah dasar.

Kalau kak Dara sengaja Papa sekolahkah di sekolah terfavorit di Bandung, sedangkan aku bersekolah di SMA yang didalamnya hanyalah siswa buangan dari sekolah lain yang tidak menerima kami.

Karena nilaiku tak sehebat nilai kak Dara dan Kak Raka.

Mereka memiliki IQ yang jauh lebih tinggi daripada aku.

“Pa, ambilin raport Rani ya.” Pintaku

“Papa sudah janji sama Dara kalau Papa yang akan mengambilkan raportnya. Kalian kan beda sekolah.” Jawab Ayahku.

“Ma, ambilin raport Rani ya!” pintaku lagi pada Mama.

“Mama udah janji sama Raka ngambili raportnya, dia kan sudah kelas tiga jadi harus diwakilin.” Jawab Mama.

“oh gitu ya.” Balasku dengan kecewa.

Lalu aku kembali ke kamarku sambil menahan air mata yang sudh ingin jatuh.

Aku hanya bisa menangis sendirian didalam kamar.

Tidak ada satu orangpun yang mau mengambilkan raportku. Jalan terakhir adalah Bi Ida.
Dan tentu saja ia sangat mau mengambilkan raportku.

**

“Gimana bi hasilnya?” tanyaku dengan penasaran

“Non Rani juara 1 non.” Ucap bi Ida dengan semangat.

“hah? Beneran bi?” sahutku tak kalah semangat.

Ternyata usahaku tak sia-sia, akhirnya aku bisa menyamai prestasi kak Dara.

**

Setibanya dirumah, semua orang yang sedang tertawa ria melihat hasil belajar kak Dara dan kak Raka menjadi terdiam disaat kedatanganku dan Bi Ida.

“gimana hasilnya Ra?, pasti jelek.” Ucap kak Raka menyindirku.

“gak ko, aku juara 1.” Ucapku dengan semangat.

“ah, juara 1 disekolahmu pasti juara terakhir dikelas Dara.” Ledek Ayah padaku.

Aku kecewa, benar-benar kecewa karena semua prestasi yang kuraih tak penah dihargai sama sekali.

Dengan kecewa aku berlari menuju kamarku, kuratapi semua ketidakadilan ini.

Aku tidak keluar kamar selama dua haripun tak ada yang peduli.

Semua orang dirumah hanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, tak terkecuali Bi Ida yang hampir setiap jam membujukku untuk keluar.

Maagku kambuh, rasanya teramat perih dari yang biasanya.

“oh Tuhan, kuatkan aku!” pintaku

**

TBC

Biarkan Aku Yang PergiWhere stories live. Discover now